Healing Journey di Lombok: Yoga di Bukit, Spa di Pantai, dan Kopi di Gunung

Beberapa bulan terakhir, gue sering ngerasa kayak hidup tuh pelan banget.
Bukan karena lagi gak sibuk, tapi karena entah kenapa… semuanya kayak ngalir aja.
Macet di Mataram? Santai.
Nunggu kapal ke Gili yang delay sejam? Gue malah duduk di tepi pelabuhan sambil nonton ombak.
Temen sampai bilang, “Lo kenapa sih sekarang zen banget?!”
Dan gue cuma bisa jawab, “Mungkin karena Lombok udah ngereset sistem gue.”

Gue gak lebay.
Ada satu momen yang bikin gue sadar: healing itu gak harus ribet, gak harus di tempat fancy, dan gak selalu butuh nangis di tengah sesi terapi.
Kadang… healing itu cuma butuh lo, jalanan sunyi, dan mobil sewaan yang bisa lo bawa ke mana aja tanpa mikir jadwal orang lain.
Itu awalnya.
Gue menggunakan penyedia sewa mobil Lombok Permata—sekadar mau keliling sendirian, ngilang bentar dari rutinitas.
Eh, ternyata malah jadi perjalanan paling “ngena” dalam hidup gue.

YOGA DI BUKIT

Gue mulai pagi-pagi banget. Jalan pelan dari Senggigi ke arah Bukit Nipah.
Sinar matahari masih lembut, jalanan masih kosong, dan angin dari laut tuh… sumpah, kayak punya efek menenangkan yang gak bisa dijelasin.
Sampai di atas bukit, gue gelar matras, buka playlist instrumental, dan mulai yoga.
Awalnya canggung—karena ya, sendirian di bukit, siapa juga yang yoga di situ? Tapi lama-lama, tubuh gue mulai nyatu sama angin.
Setiap tarikan napas tuh kayak ngebuang satu beban yang selama ini gak gue sadari.
Dan di momen itu, gue sadar: ternyata yang gue butuhin bukan liburan, tapi diam.
Di tengah sunyi itu, gue baru denger suara pikiran sendiri.

Setelah sesi itu, gue duduk lama banget, cuma ngeliatin laut dari atas bukit.
Tiba-tiba gue ketawa sendiri, mikir betapa seringnya gue nyari tenang ke luar, padahal selama ini… tenang tuh gak pernah pergi.
Dia cuma tenggelam di antara notifikasi, deadline, dan ekspektasi orang-orang.

SPA DI PANTAI

Sorenya gue lanjut ke pantai.
Gue inget, dulu pernah baca: air laut bisa menetralkan energi negatif.
Jadi gue cari tempat spa di pinggir pantai, yang bisa denger langsung suara ombak.
Gue pilih yang sederhana aja, bukan yang serba fancy.
Begitu terapis mulai pijat, gue tutup mata, dan…
anjir, baru sadar badan gue tuh capek banget.
Bukan cuma fisik, tapi juga mental.

Aroma minyak kelapa, suara ombak, dan langit senja itu kayak ngasih pelukan lembut.
Gue ngerasa kayak diluruhin pelan-pelan, kayak semua tegang, semua kekhawatiran, dilepasin satu-satu.
Dan di tengah-tengah pijatan itu, gue mikir,
“Kenapa ya selama ini gue nyiksa diri dengan kejar-kejaran sama hal yang bahkan gak bikin gue bahagia?”
Mungkin karena kita sering lupa bahwa tubuh juga butuh dirawat, bukan cuma pikiran.

Waktu sesi spa selesai, gue duduk di pasir, nonton langit berubah warna.
Dan rasanya… adem.
Bukan cuma kulit yang lembap karena minyak pijat, tapi hati juga kayak baru diolesin sesuatu yang bikin lunak lagi.

KOPI DI GUNUNG

Besoknya, gue gas mobil ke arah Sembalun.
Udara makin dingin, jalan menanjak, tapi pemandangannya bikin gak bisa berhenti senyum.
Di tengah perjalanan, gue nemu warung kecil pinggir jalan.
Gue berhenti, pesan kopi hitam.
Kopi Sembalun tuh rasanya beda—pahitnya lembut, aromanya kuat tapi hangat.
Sambil minum, gue liat Rinjani di kejauhan, tertutup kabut tipis.

Dan di situ, di bangku kayu sederhana, gue dapet momen paling jujur.
Gue sadar bahwa hidup gak perlu dikejar terus.
Kadang, lo cuma perlu berhenti, hirup udara, dan biarin waktu lewat tanpa lo apa-apain.
Karena ternyata, di antara yoga di bukit dan spa di pantai, momen paling “healing” gue justru ada di secangkir kopi hangat di ketinggian itu.

Pas gue nyetir turun dari Sembalun, gue gak mikir macem-macem.
Gak ada to-do list, gak ada agenda.
Yang ada cuma rasa penuh tapi ringan—kayak semua kekosongan diisi dengan kesadaran kecil:
bahwa hidup gak harus selalu dikejar buat terasa berarti.

Dan gue jadi ngerti kenapa orang bilang Lombok itu tempat untuk menyembuhkan.
Karena di sini, lo dikasih ruang untuk pause.
Dari suara kota, dari drama sosial, dari tuntutan yang kadang lo bikin sendiri.
Lo bisa yoga di bukit, spa di pantai, atau sekadar duduk di warung kopi gunung.
Dan semuanya, entah kenapa, selalu berujung di satu hal:
ketenangan yang gak dibuat-buat.

Jadi kalau lo lagi ngerasa burnout, jenuh, atau bahkan ngerasa hidup lo datar banget,
coba deh ke Lombok.
Sewa mobil, nyetir sendiri, keliling tanpa arah pasti.
Nikmatin jalan, mampir di tempat random, ngobrol sama orang lokal.
Karena kadang, healing terbaik bukan yang direncanain, tapi yang datang di tengah perjalanan.

Dan gue yakin, suatu hari nanti, lo juga bakal duduk di bukit, liat laut biru luas di depan mata,
terus lo bakal mikir:
“Oh, ternyata ini ya rasanya damai.”

Bukan karena hidup lo tiba-tiba sempurna,
tapi karena lo akhirnya berhenti berusaha keras buat ngendaliin segalanya.
Dan mulai percaya, bahwa ketenangan itu… bisa dijemput, asal lo berani jalan pelan.
Di Lombok, itu bukan teori.
Itu nyata.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *