Desa Rempek: Rumah Tradisional dan Legenda Lokal

Beberapa minggu lalu, waktu jalanan di kota udah terlalu bising, dan notifikasi hidup kayak gak ada tombol “pause”-nya, gue memutuskan buat cabut sejenak. Tujuan gue sederhana: cari tempat yang bisa bikin hati diem. Bukan cuma tenang, tapi diem. Dan entah kenapa, nama Desa Rempek terus-terusan muncul di kepala gue, kayak bisikan kecil dari semesta.

Jadilah gue menggunakan penyedia sewa mobil Lombok di Lombok Permata, lempar tas ke bagasi, dan mulai perjalanan ke Lombok Utara. Jalanan menuju Rempek itu… adem. Bukan karena AC mobil aja, tapi karena sepanjang perjalanan, lo bakal disambut sama sawah yang luas, pohon yang ngangguk pelan, dan langit yang kelihatan kayak belum pernah tersentuh polusi.

Ketika Rumah Bukan Sekadar Bangunan

Begitu sampai di Desa Rempek, hal pertama yang langsung nyentuh gue adalah rumah-rumahnya. Bukan rumah yang mewah atau megah, tapi yang bikin lo nunduk sebentar, mikir: “Ini rumah atau pelajaran sejarah yang masih hidup?”

Rumah tradisional Sasak di Rempek itu punya struktur yang gak asal jadi. Lantainya masih dari tanah yang dipadatkan, atapnya ilalang, dan tiangnya dari bambu yang diikat kuat—semua disusun pakai kearifan lokal yang udah turun-temurun.

Gue duduk di bale-bale depan salah satu rumah warga, dan si Bapak yang punya rumah bilang, “Kami bangun rumah bukan cuma buat tempat tidur. Tapi buat nerusin niat leluhur.” Gila. Dalam banget. Ternyata ada makna simbolis di tiap sudut rumah. Dari arah menghadapnya, sampai jumlah tiangnya. Semua itu ada filosofinya.

Legenda yang Hidup dari Mulut ke Mulut

Setelah ngopi bareng dan ngobrol ngalor-ngidul, si Bapak cerita soal legenda lokal yang katanya cuma bisa didenger langsung di Rempek. Cerita soal seorang pemuda bernama Rame yang katanya dulu punya ilmu yang bisa manggil hujan. Tapi karena sombong, dia dikutuk jadi angin yang cuma bisa muter-muter di lembah Rempek.

Awalnya gue kira itu cuma cerita rakyat biasa. Tapi waktu malam tiba, angin emang mulai berhembus pelan tapi konsisten, dan jujur aja… ada aura yang gak bisa dijelasin. Bukan mistis, tapi… sakral.

Legenda kayak gitu bukan sekadar hiburan malam. Di Rempek, cerita rakyat itu masih dijaga kayak warisan. Anak-anak diajarin bukan buat percaya buta, tapi buat ngerti: bahwa hidup itu soal keseimbangan antara kekuatan dan kerendahan hati.

Hening yang Bukan Sekadar Sepi

Ada satu momen pas gue jalan kaki keliling desa pagi-pagi, matahari baru nongol, embun masih nempel di rumput, dan suara ayam bercampur sama desir angin.

Gue berhenti sejenak. Dengar. Rasain. Dan yang gue temuin bukan cuma sepi, tapi hening.

Lo tau bedanya? Sepi itu gak ada suara. Tapi hening… itu ketika suara tetap ada, tapi hati lo gak riuh. Dan jujur, itu jarang banget gue temuin di tempat lain.

Gue mulai ngerti, kenapa banyak orang datang ke desa ini bukan buat liburan, tapi buat pulang—bukan ke rumah, tapi ke diri sendiri.

Transportasi yang Bikin Santai

Dan kalau boleh jujur, perjalanan ke Rempek ini bakal beda banget rasanya kalau gue gak pakai layanan sewa mobil dari Lombok Permata. Driver-nya paham medan, sabar, dan malah bisa cerita sejarah juga. Jadi sepanjang perjalanan, bukan cuma mata yang jalan, tapi pikiran juga diajak muter.

Lombok tuh emang bukan cuma soal pantai. Ada banyak tempat tersembunyi yang kalau lo datangin pakai kendaraan yang nyaman, bakal ngasih lo pengalaman yang gak biasa.

Apa yang Gue Pelajari dari Rempek?

Gue pikir awalnya cuma mau kabur sebentar dari rutinitas. Tapi ternyata, Desa Rempek gak ngasih gue pelarian. Dia ngasih gue pelajaran.

Bahwa rumah bukan cuma tembok dan atap, tapi niat baik yang ditanam dari generasi ke generasi.

Bahwa cerita masa lalu bukan buat ditakuti, tapi buat direnungi.

Dan bahwa kadang, lo gak butuh tempat heboh buat merasa hidup. Cukup tempat yang jujur.

Jadi, kalau lo ngerasa hidup mulai terlalu ramai, coba arahkan mobil lo ke Desa Rempek. Nggak perlu buru-buru, nikmatin setiap tikungan jalan, dan biarkan diri lo dituntun sama rasa ingin tahu.

Dan kalau lo butuh kendaraan buat perjalanan ke tempat-tempat kayak gini, lo tau harus ke mana: Lombok Permata. Karena kadang, perjalanan yang tenang itu dimulai dari mobil yang nyaman dan driver yang ngerti arah pulang—bukan ke rumah, tapi ke hati lo yang dulu sempat hilang di tengah hiruk-pikuk dunia.

Akhir kata…

Kalau suatu hari lo duduk di bale depan rumah warga di Rempek, sambil ngopi hitam dan dengerin angin muter pelan, mungkin lo bakal ngerti apa yang gue maksud.

Bukan tentang tempatnya, tapi tentang rasa yang tiba-tiba muncul tanpa alasan.

Rasa tenang, yang gak dramatis.
Rasa damai, yang gak perlu penjelasan.
Rasa pulang.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *