Desa Wisata Bilebante: Agrowisata dan Relaksasi

Beberapa waktu lalu, gue lagi nyetir di jalur Praya—jalan yang cukup familiar buat yang sering muter Lombok. Mobil gue arahkan ke desa kecil yang awalnya cuma gue denger dari obrolan singkat sopir lokal sambil nunggu penumpang.
Namanya Desa Bilebante.

Awalnya gak ada ekspektasi. Serius. Gue pikir ini cuma desa lain di antara ratusan desa di Lombok. Tapi ternyata, justru di tempat-tempat yang paling “biasa” itulah kita sering ketemu hal yang luar biasa.

Begitu masuk ke area desa, suasananya langsung beda. Jalan setapak dibelah sawah hijau yang kayak gak ada ujungnya, dan udara…
ya ampun, segarnya tuh gak bisa didefinisikan. Kayak nyedot satu sloki oksigen murni langsung ke paru-paru.

Gue berhenti sejenak. Turun. Tarik napas dalam.
Dan saat itu juga, gue sadar…
ini bukan cuma soal wisata. Ini soal pulang.

Bukan Liburan, Tapi Pelepasan
Di Bilebante, lo gak akan disuguhin bangunan megah, atau kolam renang infinity pool yang viral di TikTok.
Yang lo temuin justru:

  • Ibu-ibu nganyam daun pandan di teras
  • Bapak-bapak ngolah lahan di bawah sinar matahari
  • Anak-anak yang masih main lari-larian sambil ketawa ngakak tanpa gadget

Dan buat lo yang udah terlalu lama hidup di dunia yang segalanya harus cepat, harus update, harus perform, Bilebante itu kayak tombol pause di tengah hidup yang serba play.

Gue sempet duduk bareng Pak Rusdi—pengelola agrowisata di sana. Beliau cerita soal kebun sayur organik yang mereka kelola bareng masyarakat.
Katanya, “Orang datang ke sini bukan cuma pengen lihat tanaman, tapi pengen ngerasain hidup pelan-pelan.”

Dan ya, itu kena banget sih.
Kita terlalu terbiasa buru-buru sampe lupa caranya berhenti.

Healing yang Gak Harus Mahal
Lo bisa coba tur kebun, metik sendiri sayur atau buah yang lo mau, terus langsung diolah sama warga lokal. Makan di bale bambu, tanpa AC, tanpa musik keras, cuma ada suara jangkrik dan angin semilir.

Di situ gue diem.
Makan sepiring urap sayur, sambil liat langit sore.
Dan… entah kenapa, gue ngerasa lega.

Bukan karena makanannya enak banget (walaupun emang enak). Tapi karena momennya… jujur.

Kadang kita mikir, healing itu harus ke Bali. Harus ke luar negeri.
Padahal, yang kita butuh itu bukan lokasi yang jauh. Tapi momen di mana badan kita bisa duduk diam, dan hati kita gak dikejar-kejar apa-apa.

Dan Bilebante?
Dia kasih itu semua, tanpa banyak bicara.

Relaksasi yang Sungguh Sederhana
Ada juga layanan pijat tradisional di rumah-rumah warga. Pijatnya gak pake lilin aromaterapi mahal, tapi tangan-tangan tulus yang udah biasa bantu anak cucu tidur nyenyak.

Waktu dipijat, gue sempet ketiduran. Dan pas bangun, yang gue rasain bukan cuma badan enteng, tapi kayak…
beban hidup tuh diturunin sedikit.

Itu bukan karena tekniknya luar biasa. Tapi karena niatnya.
Pijatannya kayak nyampe ke hati.

Dari Pelancong Jadi Pendengar
Yang paling gue inget, bukan sawahnya, bukan makanannya, tapi cerita dari warga. Tentang masa kecil mereka, tentang kearifan lokal yang mulai ditinggalin, dan tentang mimpi mereka buat jaga desa ini biar gak kehilangan jati diri.

Gue dengerin, dan kali ini, bukan sekadar basa-basi.
Tapi beneran dengerin.
Karena entah kenapa, cerita mereka tuh nyantol.

Akhirnya Gue Paham…
Desa Bilebante itu bukan destinasi. Tapi refleksi.
Refleksi tentang gimana dunia makin cepat, makin ramai, makin penuh pencitraan…
sementara kita sendiri makin jarang diem dan nanya: “Apa kabar hati gue hari ini?”

Di akhir perjalanan, gue duduk lagi. Di bale bambu yang sama.
Gue liat langit mulai gelap.
Dan gue sadar, ada hal-hal yang gak bisa dikasih oleh hotel bintang lima atau itinerary padat.

Ketenangan.
Kehangatan.
Dan perasaan bahwa hidup itu gak harus selalu dikejar.

Jadi, kalau lo lagi nyari destinasi wisata di Lombok yang bukan cuma buat foto-foto, tapi juga buat merasakan hidup,
datanglah ke Bilebante.

Bukan untuk liburan. Tapi untuk kembali ke inti diri lo sendiri.

Dan kalau lo butuh mobil buat ke sana?
Tenang.
Gue yang antar.
Nama gue dari Lombok Permata.
Bukan cuma penyedia sewa mobil Lombok, tapi temen perjalanan yang ngerti…
kadang, yang kita cari bukan tempat, tapi rasa pulang.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *