Satu Hari Tiga Desa: Lingsar, Bilebante, dan Loyok – Menyusuri Harmoni Alam dan Jiwa Bersama Lombok Permata

Beberapa waktu lalu, gue ngerasa butuh “napas panjang”.
Bukan karena capek kerja doang, tapi capek dari rutinitas yang rasanya kayak muter di tempat.
Bangun pagi, ngopi, kerja, pulang, tidur.
Kayak hidup diulang terus tapi isinya gak berubah.

Jadi suatu malam, tanpa rencana panjang, gue buka ponsel dan nemu open trip dari Lombok Permata—judulnya simpel banget: Satu Hari Tiga Desa: Lingsar, Bilebante, dan Loyok.
Entah kenapa, kalimat itu kayak manggil.

Dan keesokan harinya, gue udah duduk di mobil sewaan mereka, bareng beberapa orang yang juga kayaknya pengen “kabur” sebentar dari dunia.

LINGSAR
Pagi di Lingsar tuh aneh.
Tenang tapi hidup.
Kabut masih nempel di pepohonan, udara dingin tapi wangi tanah basahnya nyentuh hidung kayak pengingat kalau hidup itu bisa sesederhana hirup napas dalam-dalam.

Gue jalan kaki pelan ke arah pura dan masjid tua yang berdiri berdampingan di sana.
Pura Lingsar itu bukan sekadar tempat ibadah—itu simbol toleransi yang nyata.
Bayangin, dua keyakinan yang berbeda bisa berbagi tempat dengan damai selama ratusan tahun.

Gue berdiri di tengah-tengah halaman pura, liat orang-orang datang berdoa, dan tiba-tiba sadar, mungkin inilah makna “tenang” yang sebenarnya.
Bukan gak punya masalah, tapi punya ruang dalam diri buat berdamai dengan perbedaan.

Sopir Lombok Permata yang nganter kami bilang pelan,
“Kalau di Lingsar, orang datang bukan buat minta banyak, tapi buat ngucap syukur.”
Dan kalimat itu nempel di kepala gue sampai sekarang.

BILEBANTE
Setelah Lingsar, perjalanan lanjut ke Bilebante.
Orang-orang nyebutnya Desa Wisata Sepeda.
Jadi ya, lo udah bisa nebak, di sini kami dikasih sepeda satu-satu, terus gowes keliling sawah.

Gue pikir bakalan ngos-ngosan.
Ternyata enggak.
Jalanan desanya lembut banget, kiri kanan hijaunya bikin mata adem.
Anak-anak kecil nyapa dari pinggir jalan, ibu-ibu lagi jemur padi, dan aroma tanah bercampur angin sawah bikin dada plong.

Di tengah-tengah perjalanan, kami berhenti di satu warung kecil.
Minum es kelapa, duduk di bale bambu, ngobrol sama warga lokal.
Salah satu bapak-bapak bilang,
“Di sini gak ada yang buru-buru, Mas. Kalau panen ya panen, kalau belum ya nunggu. Semua ada waktunya.”

Dan entah kenapa, kata-kata itu terasa kayak tamparan lembut buat hidup gue yang tiap hari dikejar target.
Gue mulai mikir, mungkin bukan waktunya gue marah-marah sama hidup yang gak cepat berubah.
Mungkin emang waktunya gue belajar sabar kayak warga Bilebante—yang yakin setiap hal akan datang di saat yang pas.

LOYOK
Menjelang sore, kami tiba di Loyok, desa kecil di kaki Gunung Rinjani yang terkenal dengan kerajinan bambunya.
Dari luar kelihatannya biasa aja, tapi begitu masuk bengkel kecil di tengah kampung, gue ngeliat keajaiban.
Tangan-tangan tua, cekatan, lagi nyusun bilah bambu satu per satu, jadi tas, lampu, sampai kursi.

Bau bambu yang baru diserut itu khas banget.
Wangi, tapi juga hangat.
Kayak aroma masa kecil yang tiba-tiba nongol di kepala.

Seorang nenek pengrajin bilang sambil senyum,
“Bambu itu lentur, tapi kuat. Kalau mau hidup lama, ya harus kayak bambu—bisa nunduk tapi gak patah.”

Dan di situ gue beneran diam.
Nenek itu ngomongnya enteng banget, tapi dalamnya kayak samudra.
Gue pikir, mungkin emang hidup ini gak perlu dilawan terus.
Kadang kita cuma perlu sedikit menunduk, biar gak patah pas angin datang.

Waktu mobil Lombok Permata berangkat balik ke kota, langit udah mulai jingga.
Dari jendela, gue liat sawah berganti jadi perbukitan, terus perlahan masuk ke jalanan kota.
Tapi hati gue masih keikut di sana—di tiga desa yang gak cuma nunjukin pemandangan indah, tapi juga ngerapiin isi kepala.

Gue sadar, perjalanan itu bukan cuma tentang jarak yang ditempuh, tapi tentang seberapa dalam lo bisa ngerasain tenangnya hati sendiri.
Dan anehnya, dalam satu hari, tiga desa itu berhasil ngajarin gue hal yang gak pernah gue dapet dari buku motivasi manapun.

Lingsar ngajarin gue soal toleransi.
Bilebante ngajarin gue sabar.
Loyok ngajarin gue lentur.

Tiga pelajaran sederhana yang, kalau dipikir-pikir, bisa jadi fondasi buat hidup lebih damai.

Pas nyampe penginapan malam itu, sopir bilang pelan,
“Besok kalau mau, kita bisa ke Sembalun. Sunrise di sana paling indah.”
Gue cuma senyum, karena kayaknya gue belum butuh sunrise.
Hari itu aja udah cukup terang.

Dan dari situ gue paham, kadang lo gak perlu pergi jauh buat ngerasa “baru”.
Cukup satu hari, tiga desa, dan sedikit ruang buat dengerin diri sendiri.
Karena ternyata, perjalanan terbaik bukan yang paling jauh, tapi yang paling mendekatkan lo sama ketenangan.

Lombok Permata mungkin cuma penyedia sewa mobil Lombok bandara dan rental mobil Lombok, tapi hari itu, mereka nganter gue ke sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar destinasi:
rasa pulang.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *