Desa Sukarara: Mengenal Tenun Ikat Khas Lombok

Beberapa tahun lalu, gw pernah mikir…
“Tenun tuh kenapa ya kelihatannya cuma kayak kain doang, tapi harganya bisa bikin dompet langsung ngibrit?”
Gw dulu mikir gitu. Sampai akhirnya gw dateng langsung ke Desa Sukarara, Lombok Tengah.

Desa ini tuh, ibaratnya Louvre-nya tenun Lombok. Tapi bedanya, di sini gak cuma bisa lihat. Lo bisa nyentuh, nyoba nenenun, bahkan duduk bareng ibu-ibu penenun sambil ngopi jahe dan ngobrolin hidup. Gak heran kalo turis-turis bule sampe rela naik motor berjam-jam demi mampir ke sini. Tapi buat gw, yang paling ngena justru bukan hasil tenunnya… tapi prosesnya.

Awalnya gw ke sana cuma mau liat-liat.
Tapi pas ngelihat satu ibu—namanya Bu Minah—duduk di bale bambu sambil nenenun…
Gw langsung diem.
Tangannya tuh gerak cepet, tapi penuh kelembutan.
Setiap lilitan benang tuh kayak punya arah, kayak punya cerita yang dia sendiri udah hafal di luar kepala.

Gw tanya:
“Bu, kok bisa ya inget motifnya?”
Dia cuma senyum dan bilang,
“Ini udah kayak napas, Nak. Kalau lupa, tinggal tutup mata, rasain aja.”

Dan di situ gw sadar…
Tenun ikat di Sukarara bukan sekadar keterampilan. Dia warisan. Dia napas. Dia hidup.

Tenun yang Dilatih Sejak Anak

Di Desa Sukarara, anak perempuan tuh udah mulai belajar nenenun dari umur 9 tahun. Dan ini bukan karena dipaksa atau tuntutan zaman. Tapi karena ada filosofi lokal:
“Perempuan Lombok belum layak menikah kalau belum bisa menenun.”

Gila gak tuh?
Lo pikir latihan buat nikah itu cuma belajar masak atau dandan? Di sini, lo harus bisa bikin motif yang rumit, konsisten, dan tahan berbulan-bulan.

Tapi ternyata itu bukan cuma soal bisa atau nggak.
Menenun itu simbol.
Simbol kalau lo bisa sabar, fokus, dan punya ketahanan.

Karena di realita hidup, rumah tangga juga gitu kan?
Penuh simpul, lilitan, dan butuh kesabaran buat bikin semuanya jadi satu cerita indah.

Motif yang Bukan Sembarang Gambar

Motif-motif di tenun Sukarara itu punya nama. Dan bukan asal tempel-tempel garis doang.

Ada motif Subahnala, lambang kekuatan doa dan harapan.
Ada Keker yang melambangkan perjuangan hidup.
Ada juga Serat Penginang, lambang keharmonisan dan adat istiadat.

Setiap motif itu kayak diary tersembunyi.
Lo mungkin ngeliatnya cuma bunga dan garis. Tapi buat yang nenenun, itu bisa jadi kenangan akan suami yang merantau, anak yang baru lahir, atau panen yang gagal tapi mereka tetap syukuri.

Proses yang Bikin Gw Nangis Diam-Diam

Gw sempet duduk dan nyoba nenenun juga.
Dipandu sama Bu Minah.

Baru lima menit, punggung pegel.
Baru satu baris, benang kusut.
Baru setengah jam, tangan gw merah.
Dan Bu Minah di sebelah gw cuma senyum, ngelihat usaha gw kayak ibu ngeliat anaknya belajar jalan.

“Nak,” katanya pelan. “Kalau benang kusut, jangan ditarik keras. Nanti malah putus. Pelan-pelan diurai. Sama kayak hidup.”

Dan di situ gw diem.
Karena ternyata, pelajaran terbesar di Desa Sukarara gak ditulis di papan. Tapi ditenun dalam diam.

Dibalik Tenun, Ada Komunitas yang Solid

Warga Desa Sukarara itu gak egois. Mereka saling bantu.
Kalau satu keluarga dapet pesanan banyak, tetangga bisa ikut bantu ngerjain. Nanti hasilnya dibagi.
Ada sistem gotong royong yang udah langka banget di kota.

Mereka juga punya koperasi lokal buat menjual tenun supaya harga gak dimainin tengkulak. Jadi lo beli di sana tuh langsung ke pengrajin. Gak ada drama harga dimark-up 10 kali lipat.

Gw ngerasa, di tengah dunia yang makin serba cepat dan instan, Desa Sukarara kayak napas panjang yang ngajak kita berhenti, lihat ke dalam, dan nanya ke diri sendiri:

“Sebenernya, lo udah bikin apa aja dalam hidup lo yang lo tenun dengan sabar?”

Kenapa Ini Penting Buat Wisatawan?

Karena kalau lo ke Lombok cuma mau nyari pantai dan sunrise, ya oke… itu sah.
Tapi lo bakal pulang cuma bawa foto.
Beda ceritanya kalau lo mampir ke Sukarara.
Lo bakal pulang bawa rasa.
Rasa hormat sama tradisi.
Rasa kagum sama ketekunan.
Dan rasa pengen jadi manusia yang lebih sabar.

Dan Buat Lo yang Lagi Butuh Kendaraan ke Sana…

Gw ngerti. Lombok itu luas, dan gak semua desa bisa dijangkau angkutan umum.
Itu kenapa di Lombok Permata, kami gak cuma menyediakan layanan sewa mobil Lombok terbaik—kami juga nyediain perjalanan yang aman, nyaman, dan penuh cerita.

Lo tinggal duduk, tim kami yang urus rutenya.
Mau mampir ke Sukarara, ke Sade, ke Pantai Kuta, atau ke tempat-tempat yang belum banyak orang tahu—kami siap temenin.

Karena kami percaya…
Wisata bukan cuma soal tempat.
Tapi soal cara lo sampai ke sana.

Dan kadang, cerita terbaik justru terjadi bukan di tujuan, tapi di sepanjang jalan.


Jadi, kalau lo ke Lombok tapi gak sempet mampir ke Desa Sukarara, menurut gw… itu kayak makan bakso tapi gak minum kuahnya.
Ada yang kurang.
Ada yang belum utuh.

Karena di desa kecil ini, ada pelajaran besar yang ditenun diam-diam.
Tentang sabar.
Tentang hidup.
Dan tentang manusia.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *