Beberapa minggu terakhir ini gue terus kepikiran satu hal: kenapa hati gue kayak makin flat?
Bukan flat yang ngerasa kosong, tapi flat yang… tentram.
Gak kayak dulu yang gampang baper sama komentar netizen atau drama di timeline.
Gue pikir mungkin ini karena gue mulai sering me time. Nonton YouTube refleksi kehidupan, ngobrol random sama ChatGPT, baca artikel soal healing, dan bareng-bareng hypocare retreat. Gue juga masih rajin Theta Healing dan beberapa sesi hyperbaric buat support pikiran. Dan kemarin, gue baru pulang dari short detox di luar kota. Semua hal itu bikin vibes gue datar, tapi damai.
Nah, dari sini, gue jadi sadar: yang gue butuhin bukan cuma relaksasi, tapi sesuatu yang kreatif dan bermakna. Yang bisa bikin lo merhatiin detail. Yang bisa bikin lo fokus, sambil hati lo diem. Makanya, gue memutuskan buat explore satu tempat yang selama ini sering gue dengar: Sentra Kerajinan Kayu Banyumulek di Lombok.
Kedatangan yang Tenang
Pagi-pagi, gue naik mobil sewaan dari Lombok Permata. Supirnya gak banyak cakap. Dia ngerti kalau gue pengin perjalanan yang sepi dan sunyi. Mobilnya adem, AC halus, dan mesin gak ribut. Itu penting sih—karena kerajinan lokal itu pelan aja jalannya, gak perlu digeber.
Perjalanan dari Mataram ke Banyumulek itu kira-kira 30 menit. Jalanannya enak. Semilir angin masuk lewat jendela pas sedikit dibuka. Waktu tiba, suasana sudah beda—lebih slow, lebih adem.
Suasana Desa Pengrajin
Lo turun di pinggir jalan. Di depan lo, ada deretan workshop kayu kecil dengan terbuka. Beberapa pengrajin sudah sibuk memahat potongan kayu di meja sederhana. Bau serbuk kayu yang baru dipotong mengepul halus ke udara, bikin lo ngerasa… tenang.
Gue mampir ke satu workshop. Yang bikin gak boleh ke sana cuma buat belanja. Gue duduk sebentar sambil nyeruput kopi hitam. Sambil lihat tangan pengrajin bergerak cepat—mengukir motif Lombok, Sasak, atau bahkan motif abstrak. Mata mereka fokus, tangan mereka stabil. Gue ngerasa kayak nonton live mindfulness therapy.
Interaksi yang Islami
Gue ngobrol sama mas-mas pengrajin. Namanya Pak Rahmat. Dia cerita pelan, suaranya lembut.
Katanya, tiap pahatan butuh konsentrasi tinggi. Kayu gendis atau sonokeling bukan bahan seadanya. Motivasi mereka bukan cuma cari untung, tapi mempertahankan tradisi leluhur.
Gue tanya soal tekniknya. Dia jelasin prinsip ‘ukir mengalir’—gak boleh dipaksain, kayak meditasi: lo liatin kayu dulu, baru tangan lo digerakin secara sadar. Gak waktu jalan, lo gak boleh buru-buru. Karena kalau terburu, pahatan bisa pecah. Makanya mereka sabar.
Sentuhan Personal di Setiap Ukiran
Gue pegang satu mangkuk kayu yang baru selesai diampelas. Ujungnya halus, motifnya simetris, dan garis pahatan kecil itu kayak detak jantung yang teratur. Gue pegang pelan, rasain tekstur halusnya, kayunya punya aroma yang menenangkan.
Di situ gue sadar… seni itu healing.
Seni bisa buat lo hadir sepenuhnya.
Seni bisa bikin lo lupa sama hawa dramatis dunia luar.

Kerajinan Kayu Sebagai Ruang Hening
Gue melangkah ke warung kopi kecil di ujung desa. Disana, gue duduk sambil nge-stir latte. Langit biru cerah, suara pengrajin masih meneruskan kerja mereka, dan gue cuma duduk diam. Hatiku adem. Sama seperti dulu, waktu gue healing di retreat, cuma duduk diam sambil dengerin suara hening.
Bedanya, kali ini gak perlu pake singing bowl atau oxygen chamber. Cukup dengar suara gergaji, lihat serbuk kayu, dan rasain waktu berjalan pelan.
Transportasi Krusial untuk Pengalaman Maksimal
Ini beneran penting: kalau lo mau ke Banyumulek, mending menggunakan sewa mobil lombok lepas kunci.
Gue pake Lombok Permata dan itu solusi emas.
Mobilnya enak, supirnya ngertiin mood lo, dan rutenya kreatif. Lo bisa singgah ke tempat lain, misalnya ke galeri kecil, warung lokal, atau langsung mampir ke pantai.
Kalau lo naik ojek online, barang bawaan lo repot, waktu lo terbuang buat nunggu, dan lo gak bisa njelajah spot-spot kecil kayak ini.
Apa yang Gue Bawa Pulang
Gue bawa pulang dua buah mangkuk kayu, satu hiasan dinding, dan pastinya ketenangan di hati.
Dan yang paling berharga: waktu untuk hadir.
Waktu buat ngerasain kayu, teksturnya, bunyinya, aromanya.
Waktu buat ngobrol pelan dengan pengrajin.
Waktu buat ngomong sama diri sendiri: “Eh, lo lagi baik-baik aja, kan?”
Dan gue percaya, pengalaman semacam ini lebih valuable daripada belanja banyak barang mahal.
Beberapa minggu lalu, gue mikir kenapa hati gue tiba-tiba chill?
Ternyata karena gue ngasih ruang untuk hening.
Dan ruang hening itu dikasih lewat hal-hal sederhana: ngopi, nonton video inspiratif, healing seminggu, sampai pergi ke desa pengrajin kayu
Lo gak perlu cari tempat jauh buat healing. Kadang cukup jelajahi desa kreatif di Lombok, duduk sebentar, biarin dunia mengalir lewat tangan pengrajin yang lagi sibuk bercerita lewat pahatan.
Dan kalau lo mau pengalaman yang utuh—dengan kenyamanan, fleksibilitas, dan bukan sekadar destinasi—coba deh jalan ke Banyumulek.
Sewa mobil Lombok Permata, duduk, hadir, dan biarkan seni kayu mengisi ruang kosong di hati lo.
Karena healing gak harus mewah. Kadang, healing justru terasa paling nyata dari lesung kayu, aroma serbuk halus, dan sunyi yang bermakna.