Tips Mengunjungi Gili di Musim Sepi: Untung atau Rugi?

Beberapa minggu terakhir ini gue sering liat story temen-temen yang liburan ke Bali atau Lombok.
Ada yang pamer pantai rame banget, ada juga yang justru posting suasana sepi di Gili Trawangan.
Dan entah kenapa, yang terakhir itu malah bikin gue pengen balik ke sana lagi.

Tapi ya… balik ke Gili pas musim sepi itu bukan keputusan yang semua orang bakal ambil dengan ringan.
Ada yang bilang, “Duh, nanti gak rame, gak seru.”
Ada juga yang justru nyebut, “Justru di situ nikmatnya. Sepi, tenang, gak kayak pasar malam.”

Akhirnya gue mulai mikir.
Sebenernya, liburan ke Gili di musim sepi itu untung, atau rugi?

Gue inget banget, pertama kali ke Gili Trawangan itu pas musim ramai.
Kapalnya penuh, suasana pelabuhan Bangsal heboh, orang jual tiket bersahut-sahutan, dan begitu nyampe di pulau — semua jalanan pasirnya penuh orang dorong sepeda.
Suasana kayak festival tahunan yang gak ada ujungnya.
Seru sih, tapi capek juga.

Nah, waktu kedua kalinya gue ke sana, beda banget.
Bulan April, bukan musim liburan, dan cuacanya agak mendung.
Dari pelabuhan aja udah kerasa — gak ada antrean panjang, gak ada suara ramai, cuma angin laut yang tenang.
Gue sempet mikir, “Wah, ini sih bakal bosenin.”

Tapi ternyata… justru itu momen paling jujur dari pulau kecil itu.

Pas Gili lagi sepi, lo baru bisa denger suara asli dari tempat itu.
Bukan musik bar, bukan suara pengunjung yang mabuk nyanyi fals tengah malam.
Tapi suara ombak kecil yang nyium pantai.
Suara cidomo lewat pelan di pasir.
Dan sesekali, suara burung laut yang kayak ngeingatkan, “Hei, hidup gak harus selalu ramai.”

Lo bisa jalan kaki keliling pulau tanpa senggolan sepeda, tanpa harus minggir buat orang foto-foto di tengah jalan.
Lo bisa duduk di pinggir pantai, ngopi sendirian, dan tiba-tiba sadar…
“Kayaknya ini ya arti liburan yang sebenernya.”

Tapi tentu aja, gak semua hal di musim sepi itu ideal.
Ada juga sisi “ruginya” — meskipun menurut gue sih, lebih ke ujian kecil aja.
Misalnya, beberapa restoran atau bar tutup karena sepi pengunjung.
Atau kapal ke Gili jamnya gak sepadat musim ramai, jadi lo harus ngatur jadwal lebih cermat.

Tapi justru di situ letak petualangannya.
Gue ngerasa kayak punya waktu lebih buat ngobrol sama orang lokal, nanya cerita mereka tentang Gili sebelum viral.
Dan lo tau gak, banyak banget hal menarik yang gak bakal lo denger kalau lo datang pas musim rame.

Misalnya, tentang gimana dulu Gili cuma dihuni nelayan dan beberapa traveler yang tidur di hammock.
Atau cerita bahwa dulu belum ada bar di pinggir pantai, cuma warung kecil jual nasi bungkus dan kelapa muda.
Lo jadi bisa ngeliat sisi “asli” dari pulau itu — bukan sekadar destinasi wisata, tapi rumah bagi banyak orang.

Kalau ditanya, “Enakan ke Gili kapan sih?”
Gue bakal jawab tergantung: lo mau cari apa?

Kalau lo pengen pesta, keramaian, dan foto-foto di beach club yang penuh lampu, datanglah pas musim ramai.
Tapi kalau lo pengen tenang, pengen ngobrol sama diri sendiri, pengen liat laut tanpa suara speaker yang berisik,
Datanglah pas musim sepi.

Justru di situ Gili nunjukin jati dirinya yang paling jujur.
Dan lucunya, banyak orang yang datang di musim sepi akhirnya jatuh cinta sama sisi sunyi itu.

Gue inget banget waktu itu, gue sewa mobil di Lombok Permata buat berangkat dari Mataram ke Pelabuhan Bangsal.
Perjalanannya cuma sekitar satu jam, tapi sepanjang jalan itu kayak mini healing session.
Gunung di sebelah kiri, laut di sebelah kanan, dan udara yang belum tercemar polusi.
Supirnya juga santai banget, sempet cerita-cerita soal wisatawan yang sering kaget karena di Gili gak boleh bawa motor.

Begitu sampai di pelabuhan, suasananya adem banget.
Gue duduk di tepi dermaga, liatin air laut yang jernih, terus naik kapal kecil menuju Gili Trawangan.
Dan saat kapal berlayar, gue ngerasa kayak ninggalin semua kebisingan dunia di belakang.

Sampai di sana, semuanya pelan.
Orang-orang jalan tanpa buru-buru, gak ada suara klakson, gak ada deadline.
Hanya pasir, laut, dan matahari yang kayak lagi nyapa dengan tenang.

Buat lo yang suka suasana damai, ini waktu terbaik buat datang.
Harga penginapan turun, suasana lebih privat, dan sunset-nya tetap sama cantiknya.
Bahkan lebih cantik, karena gak perlu rebutan spot foto.

Kalau pun hujan datang tiba-tiba, lo bisa duduk di warung kecil sambil minum kopi panas dan ngobrol sama pemiliknya.
Mereka selalu punya cerita tentang Gili — cerita yang gak akan lo temuin di brosur wisata.

Jadi, balik lagi ke pertanyaan di awal:
Mengunjungi Gili di musim sepi itu untung atau rugi?

Kalau lo tipe orang yang datang buat keramaian, mungkin lo bakal bilang rugi.
Tapi kalau lo datang buat kedamaian, buat menenangkan kepala yang penat sama rutinitas kota,
Lo bakal sadar, ternyata ini justru jackpot.

Karena di musim sepi, Gili gak lagi jadi tempat wisata.
Dia jadi ruang sunyi yang mengingatkan kita, bahwa liburan terbaik itu bukan tentang tempat paling ramai,
tapi tentang tempat di mana lo bisa benar-benar diam — dan ngerasa cukup.

Dan di titik itu, lo bakal paham:
Kadang yang kita cari bukan keramaian, tapi keheningan yang akhirnya nyembuhin kita.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *