Beberapa waktu lalu, gue sempet diajak temen buat mampir ke sebuah masjid tua di Lombok Tengah. Namanya Masjid Tua Montong Terep. Jujur, sebelumnya gue gak pernah denger sama sekali soal masjid ini. Tapi begitu denger kata “tua” dan “unik”, langsung kepo dong gue. Karena biasanya, bangunan tua tuh bukan sekadar bangunan—selalu ada cerita yang nyangkut di sana. Dan ternyata, dugaan gue bener banget.
Masjid ini gak kayak masjid pada umumnya. Bayangin, kebanyakan masjid identik dengan kubah besar, keramik mengilap, dan ornamen megah. Tapi Masjid Tua Montong Terep justru tampil sederhana. Dinding dan tiangnya dari kayu, atapnya berlapis-lapis mirip pura atau rumah adat. Begitu masuk, aroma kayu tua langsung nyambut. Rasanya kayak ditarik ke masa lalu, ke zaman ketika orang-orang masih ngerjain semua hal pakai tangan, bukan mesin.
Awalnya gue mikir, apa gak rapuh tuh kayu segede gitu udah ratusan tahun dipake? Ternyata rahasianya ada di teknik bangunan tradisional yang dipakai. Kayu-kayu besar disusun tanpa paku, lebih banyak pakai pasak. Kata warga sekitar, itu bikin bangunan jadi lebih kokoh dan fleksibel kalau ada gempa. Dan ya, kita tau sendiri kan Lombok itu rawan gempa. Jadi arsitektur kayak gini bukan sekadar estetika, tapi emang strategi bertahan hidup.
Pas denger cerita itu, gue jadi sadar: ternyata leluhur kita udah punya kearifan teknis sejak dulu. Mereka gak sekolah teknik sipil, tapi bisa bikin bangunan yang tahan banting. Gak kalah sama teknologi modern.
Di dalam masjid, suasananya adem banget. Gak ada ornamen berlebihan, cuma ada ruang shalat dengan tikar anyaman, beberapa ukiran kayu sederhana, dan cahaya yang masuk lewat celah dinding. Tapi justru karena kesederhanaannya itu, hati jadi gampang tenang. Gak ada distraksi, gak ada yang bikin mata sibuk. Hanya hening, kayu tua, dan rasa syukur.
Gue sempet ngobrol sama salah satu warga yang lagi bersihin halaman masjid. Katanya, Masjid Tua Montong Terep ini udah berdiri sejak abad ke-17. Masjid ini bukan cuma tempat ibadah, tapi juga jadi pusat kegiatan masyarakat waktu itu. Dari musyawarah, belajar ngaji, sampe acara adat. Jadi tiap sudutnya tuh menyimpan jejak kehidupan sosial.

Gue jadi kepikiran, seandainya kayu-kayu itu bisa ngomong, mungkin mereka bakal cerita tentang doa-doa orang yang udah lewat, tentang anak-anak yang dulu belajar huruf hijaiyah sambil main-main, tentang para tetua yang bikin keputusan penting untuk desa. Semua terserap, jadi bagian dari bangunan ini.
Dan entah kenapa, suasana di masjid itu bikin gue refleksi. Kadang kita terlalu sibuk ngejar hal yang modern, mewah, kinclong. Padahal, nilai asli dari sebuah tempat bukan di megahnya, tapi di makna yang nempel di situ. Masjid Tua Montong Terep ngajarin gue, bahwa kesederhanaan justru bisa bikin sesuatu bertahan lebih lama.
Nah, kalau lo kebetulan lagi jalan-jalan di Lombok, masjid ini bisa jadi spot menarik buat dikunjungi. Apalagi kalau perjalanannya lo tempuh bareng Lombok Permata. Tinggal rental mobil lombok aja, lo bisa jalan santai dari kota Mataram atau bandara menuju desa Montong Terep. Gak usah ribet mikirin transportasi umum yang terbatas.
Selain itu, perjalanan ke masjid ini juga bakal ngelewatin pemandangan pedesaan yang asri. Sawah hijau terbentang, gunung di kejauhan, plus udara seger khas desa. Jadi bukan cuma wisata religi, tapi juga wisata alam. Double combo, kan?
Buat gue pribadi, pengalaman ke Masjid Tua Montong Terep ini bukan sekadar wisata sejarah. Lebih kayak reminder. Kalau arsitektur bisa jadi cara manusia ngobrol sama waktu. Kayu-kayu yang masih berdiri tegak di masjid itu kayak bilang: “Hei, kami masih ada. Dan kami jadi saksi hidup doa-doa yang pernah terucap.”
Akhirnya, gue pulang dari sana dengan hati yang lebih ringan. Rasanya kayak abis diajak ngobrol sama leluhur, diajarin untuk gak gampang silau sama hal-hal besar yang sebenernya rapuh.
Jadi, kalau suatu hari lo pengen ngerasain wisata religi yang beda, coba deh mampir ke Masjid Tua Montong Terep. Bawa mobil sewaan biar lebih fleksibel, biar bisa berhenti kapan aja lo mau, entah buat foto-foto, beli jajanan desa, atau sekadar ngopi di warung pinggir jalan. Karena kadang, perjalanan yang sederhana justru ninggalin kesan yang lebih dalam.
Masjid Tua Montong Terep bukan sekadar bangunan kayu. Dia adalah saksi sejarah, ruang spiritual, sekaligus karya arsitektur yang masih relevan sampai hari ini. Dan bersama Lombok Permata, perjalanan ke sana bisa jadi lebih nyaman dan bermakna. Karena pada akhirnya, perjalanan terbaik adalah yang bikin lo pulang dengan hati penuh cerita.