Beberapa waktu lalu, gw jalan-jalan ke Lombok lagi. Entah kenapa, pulau ini tuh selalu punya vibe yang bikin gw pengen “slow down”. Kayak ada sesuatu di udaranya yang bilang, “Santai aja, nggak usah kejar-kejaran sama waktu.”
Dan di trip kali ini, gw nemuin satu desa yang unik banget di Lombok Tengah. Namanya Desa Lelongken.
Kata orang, desa ini dikenal sebagai kampung pemahat batu. Awalnya gw mikir, “Ya paling cuma kayak bengkel batu biasa kan?” Tapi ternyata… enggak, bro. Begitu sampai di sana, gw ngerasa kayak masuk ke dunia lain. Setiap sudut desa kayak punya cerita dari batu-batu yang mereka bentuk dengan tangan.
Suara Palu dan Cerita di Balik Batu
Begitu turun dari mobil, suara “tok… tok… tok…” langsung terdengar dari kejauhan. Itu bukan suara biasa, tapi suara palu yang ngetok batu-batu besar jadi karya seni. Ada patung tradisional, ukiran hewan, sampe bentuk-bentuk abstrak yang gw sendiri nggak ngerti tapi keren aja dilihat.
Gw sempet ngobrol sama salah satu pemahat di sana, namanya Pak Junaidi. Dia bilang, “Batu itu kayak hidup, Mbak. Kalau kita pahat dengan hati, dia bakal kasih bentuk terbaiknya.” Gw langsung diem. Dalam banget kan omongan bapak ini? Sementara di kota, orang lebih sering ngomongin trending apa hari ini, di sini orang bisa bikin filosofi dari batu.
Bukan Cuma Soal Pahat, Tapi Soal Kesabaran
Melihat cara mereka bekerja tuh kayak terapi visual. Satu pahatan bisa mereka kerjain berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Gw jadi sadar, mungkin ini alasan kenapa orang desa kelihatan lebih adem. Mereka nggak punya konsep “instan” kayak kita.
Di tengah-tengah obrolan, Pak Junaidi bilang, “Kalau kerja pahat buru-buru, batu bisa pecah. Hidup juga gitu, kalau maksa semua cepat, ya gampang retak.” Gw ngerasa kayak ditampar pelan.
Kadang, kita di kota ngerasa semua harus beres sekarang juga. Deadline kerjaan, update sosial media, bahkan healing pun kayak harus cepat. Padahal, mungkin ya, kita cuma perlu jeda sebentar buat napas.
Lelongken dan Kuliner Sederhananya
Nah, selain seni pahatnya, Desa Lelongken juga punya kuliner sederhana tapi bikin nagih. Gw nyobain nasi campur dengan lauk ikan bakar dan sayur kelor. Rasanya… hmm, asli kayak masakan rumah. Di kota, lo bayar ratusan ribu di resto fancy, tapi nggak ada yang bisa gantiin rasa autentik kayak gini.

Sambil makan, gw lihat anak-anak kecil main di halaman rumah. Nggak ada gadget, nggak ada drama. Gw jadi inget masa kecil sendiri, yang sekarang rasanya udah jauh banget dari vibe kayak gini.
Sewa Mobil, Jalan Santai
Kalo lo mau ke Desa Lelongken, gw saranin banget buat pakai sewa mobil Lombok lepas kunci. Karena akses ke sini nggak ada transportasi umum. Driver lokal yang gw sewa juga banyak cerita soal desa ini. Katanya, Lelongken bukan cuma tempat pahat, tapi juga punya sejarah panjang soal perdagangan batu dari zaman dulu.
Mobil sewaan bikin perjalanan lebih fleksibel. Lo bisa berhenti di spot foto, beli es kelapa pinggir jalan, atau sekadar menikmati pemandangan sawah tanpa dikejar-kejar jadwal bus.
Filosofi Hidup dari Desa Pahat
Kadang kita butuh jauh dari kota buat sadar bahwa hidup nggak harus ribut. Gw belajar banyak dari Desa Lelongken. Dari cara mereka pahat batu, gw ngerti bahwa kesabaran itu bukan berarti diam, tapi terus bergerak pelan-pelan, tanpa panik.
Lo nggak perlu langsung jadi masterpiece hari ini. Sama kayak batu, butuh proses, butuh waktu, butuh ketok satu-satu sampai bentuknya keluar.
Pulang dengan Hati Lebih Tenang
Pas perjalanan pulang, gw mikir,
“Gila ya, cuma dari desa kecil ini gw bisa dapet banyak insight.”
Gw jadi ngerasa kalau hidup nggak harus selalu keras kayak beton kota. Ada kalanya kita perlu jadi lunak, biar bisa dibentuk jadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Desa Lelongken di Lombok Tengah bukan sekadar kampung pemahat batu. Ini tempat di mana lo bisa belajar filosofi hidup dari seni yang mereka tekuni. Lo bisa lihat gimana satu pahatan lahir dari kesabaran dan cinta, bukan dari terburu-buru.
Kalau lo lagi di Lombok, sempatkan mampir. Dan inget, paling enak ke sini pakai layanan rental mobil Lombok. Biar perjalanan lebih nyaman, lo bisa berhenti kapan aja, bahkan nongkrong sebentar sama warga lokal buat dengerin cerita mereka.