Desa Darek: Tempat Asal-usul Gendang Beleq Tradisional

Beberapa tahun lalu, waktu hidup lagi ribut-ributnya—kerjaan numpuk, drama sosial media, dan kepala kayak benang kusut—gw pernah diajak temen ke satu desa kecil di Lombok. Namanya Desa Darek. Katanya sih, tempat ini punya energi yang beda. Gw waktu itu gak terlalu ambil pusing. Cuma mikir, “Oke lah, siapa tau bisa napas agak panjang dikit.”

Begitu mobil masuk area desa, jalanannya mulai sempit, udara makin bersih, dan mata gw mulai disambut oleh hamparan sawah yang sepi, tapi gak sunyi. Ada suara yang samar terdengar dari kejauhan. Bukan suara motor, bukan teriakan anak-anak, tapi… suara gendang.

Dan bukan sembarang gendang. Suaranya berat, dalam, tapi ritmis—kayak ada semacam percakapan batin yang gak bisa dijelasin pakai kata. Temen gw nyengir sambil bilang, “Itu Gendang Beleq. Di sinilah dia lahir.”

Gendang yang Tidak Sekadar Bunyi

Gendang Beleq secara harfiah berarti “gendang besar.” Tapi jujur, menurut gw, itu nama yang terlalu sederhana untuk sesuatu yang bunyinya bisa bikin dada bergetar. Ini bukan sekadar alat musik. Ini semacam doa, semacam teriakan dari leluhur yang masih hidup lewat bunyi.

Di Desa Darek, gendang ini bukan cuma dimainkan untuk hiburan. Dia dibunyikan saat kelahiran, kematian, panen, bahkan ketika seorang anak lelaki akan merantau. Gendang Beleq bukan hanya tentang kerasnya suara. Tapi tentang kerasnya kehidupan yang harus dilembutkan dengan irama.

Gw sempet ngobrol sama salah satu penabuhnya. Orangnya gak banyak omong, mukanya legam karena matahari, dan senyumnya pelan kayak suara angin lewat pohon kelapa. Dia bilang, “Kami gak belajar dari buku. Kami denger dari langit.” Gw diem aja. Karena gw ngerti, ini bukan tentang teknik. Ini tentang koneksi.

Irama yang Menyambung ke Diri Sendiri

Selama beberapa hari di Darek, gw nyadar sesuatu. Tempat ini sunyi, tapi bukan sunyi yang kosong. Ini sunyi yang penuh makna. Gendang yang mereka tabuh setiap hari, entah kenapa, bikin hati gw pelan-pelan jadi lebih ringan.

Mungkin karena gak ada hiruk pikuk. Mungkin karena udara bersih. Atau mungkin karena disini, semua orang hidup dengan ritme mereka sendiri. Gak ada yang buru-buru. Gak ada yang sibuk pencitraan. Semuanya… chill.

Dan gw mulai sadar, kenapa gw suka tempat ini. Karena dia ngingetin gw akan satu hal yang pelan-pelan mulai gw lupakan: akar.

Kita tuh kadang terlalu sibuk nguber masa depan sampai lupa sama tempat kita berpijak. Lupa sama bunyi-bunyi kecil yang dulu nemenin kita tumbuh. Di Darek, semua itu masih ada. Masih hidup. Masih berdetak.

Darek, Tempat yang Gak Minta Dikenal

Yang menarik dari Desa Darek adalah… dia gak ngemis buat terkenal. Dia gak nawarin kemewahan. Gak ada spot Instagrammable yang dicat warna pastel. Tapi dia ngasih sesuatu yang gak bisa dibeli: kejujuran.

Kejujuran dalam hidup yang berjalan apa adanya. Dalam budaya yang dirawat bukan buat turis, tapi karena memang mereka gak bisa hidup tanpa itu. Gendang Beleq mereka bukan pajangan. Itu bagian dari napas harian mereka.

Dan buat gw pribadi, Darek jadi tempat refleksi. Bahwa gak semua hal harus keras. Gak semua hal harus viral. Kadang, jadi besar justru ketika kita bisa memainkan bunyi kecil dengan sepenuh hati.

Sewa Mobil, Tapi Dapat Pulang ke Dalam Diri

Kalau lo niat jalan-jalan ke Lombok, gw saranin jangan cuma ke pantai. Jangan cuma cari sunset. Coba ambil waktu sehari dua hari buat mampir ke desa-desa kayak Darek. Dan lo gak perlu ribet. Lo bisa pakai layanan sewa mobil Lombok dari Lombok Permata.

Jujur aja, waktu itu gw juga pakai jasa rental mobil di Mataram, Lombok mereka. Supirnya ramah, rute fleksibel, dan yang paling penting, mereka ngerti kalau kadang orang tuh cuma pengen diem. Gak pengen dibombardir info wisata. Cuma pengen duduk di mobil, liat sawah, dan denger bunyi gendang dari kejauhan.

Akhirnya Gw Ngerti…

Kenapa gendang itu dibunyikan keras-keras, tapi justru bikin hati tenang. Mungkin karena dia ngajarin kita untuk hidup dengan irama sendiri. Gak perlu ngikutin tempo dunia yang makin gak jelas. Gak harus marah kalau gak disorot. Gak harus takut kalau gak dilihat.

Desa Darek bukan tempat untuk melarikan diri. Tapi tempat untuk kembali. Kembali ke suara, ke akar, ke hal-hal kecil yang dulu pernah bikin kita tenang.

Dan buat gw pribadi, pulang dari Darek, gw gak cuma bawa oleh-oleh cerita. Tapi juga bawa irama baru di kepala. Yang pelan. Yang sederhana. Tapi jujur.

Kayak bunyi Gendang Beleq…
yang meskipun besar, gak pernah minta didengar, tapi tetap menggema.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *