Desa Banyumulek: Wisata Gerabah Lombok, Rute Mobil Termudah

Ada satu sore di Lombok yang sampai sekarang masih nyantol di kepala gue.
Bukan karena sunset-nya, bukan juga karena pantainya yang bening kayak kaca… tapi karena gerabah.
Iya, bener. Gerabah. Tanah liat yang dibentuk jadi mangkok, kendi, atau vas bunga itu.

Waktu itu, gue lagi nyetir mobil sewaan dari Mataram. Rencana awalnya cuma muter-muter cari makan khas Sasak. Tapi entah kenapa, kaki ini belok ke arah barat daya, masuk ke jalan kecil yang sepi tapi bersih dan rapi.
Gak lama, gue sampai di gapura kayu yang tulisannya bikin gue senyum:
Selamat Datang di Desa Banyumulek, Sentra Gerabah Lombok.

Awalnya gue gak berekspektasi apa-apa. Maksudnya ya… oke lah, liat-liat gerabah sebentar, terus pulang. Tapi setelah gue turun dari mobil dan disambut sama ibu-ibu yang lagi muter tanah liat sambil nyanyi kecil…
Gue langsung mikir, Oh ini tempat bukan tempat biasa.

Mereka gak pake mesin canggih. Gak ada roda keramik listrik.
Yang ada cuma piringan kayu sederhana, tangan yang lincah, dan intuisi.
Serius, kalau lo lihat langsung, itu bukan cuma kerajinan, tapi semacam meditasi yang hidup.
Tangannya berputar, mulutnya nyanyi, dan tanah liat itu… berubah pelan-pelan jadi karya yang bisa lo pajang di ruang tamu.

Gue sempet duduk di bale bambu sambil ngobrol sama Pak Rahman, salah satu pengrajin senior di sana.
“Gerabah itu kayak hidup, Mas,” katanya. “Harus sabar, gak bisa buru-buru. Kalo lo paksa, dia retak.”

Dan entah kenapa, kata-katanya nyangkut di hati.
Kayak… iya ya, hidup juga gitu.
Kadang kita pengen cepet-cepet sukses, cepet-cepet sampai. Tapi ada hal-hal yang memang harus dibentuk pelan-pelan. Harus ada sentuhan, harus ada rasa.

Oke, balik ke urusan praktis.
Kalau lo pengen ke Banyumulek dan gak mau ribet, saran gue: sewa mobil Lombok.
Gue waktu itu pake jasa rental mobil Lombok dari Lombok Permata, dan itu ngebantu banget.
Supirnya lokal, tau jalan alternatif, tau tempat makan enak di pinggir jalan yang gak ada di Google Maps.
Dan yang paling penting, mobilnya bersih dan adem. Gak bau bensin kayak mobil tua.

Rutenya pun gampang.
Dari Bandara Internasional Lombok (BIL), lo tinggal ambil arah ke Kota Mataram, sekitar 25 menit. Nah, dari Mataram ke Desa Banyumulek cuma sekitar 15–20 menit naik mobil.
Jalannya aspal semua, gak ada tanjakan ekstrem, gak ada tikungan tajam.
Kalau lo nyetir sendiri pun, aman. Tapi kalau lo pengen chill dan nikmatin jalan, ya tinggal duduk manis di kursi penumpang dan biarkan supir bawa lo ke dunia yang lebih… tenang.

Di desa itu, lo gak cuma bisa liat gerabah doang.
Lo bisa coba bikin sendiri. Serius, ada workshop singkat yang bisa lo ikutin.
Tangan lo bakal kotor, pasti. Tapi lo juga bakal ngerasain pengalaman yang gak bisa lo beli di mall mana pun.

Gue inget, waktu gue nyoba muter tanah liat di atas roda itu, bentukannya malah mirip donat gepeng. Tapi semua orang di sana cuma ketawa, dan Pak Rahman bilang,
“Yang penting tangan Mas udah nyentuh tanah.”

Dan gue ngerti maksudnya.
Kadang kita hidup terlalu banyak pake kepala, lupa buat nyentuh tanah.
Lupa buat ngerasain yang nyata.

Sebelum pulang, gue sempet beli satu kendi kecil. Bukan karena bentuknya bagus, tapi karena ada bekas jari si ibu pembuatnya di bagian samping.
Dan setiap gue liat kendi itu sekarang, gue inget satu hal:
Hidup yang lambat bukan berarti hidup yang gagal.
Kadang justru di momen-momen lambat itu, kita bisa ngerti arti ‘cukup’ dan ‘tenang’.

Jadi kalau lo lagi di Lombok dan pengen ngeliat sisi lain dari pulau ini, jangan cuma nyari pantai.
Coba belok sebentar ke Banyumulek.
Liat tangan-tangan yang menghidupkan tanah.
Dan kalau bisa, sewa mobil dari tempat yang terpercaya, biar perjalanan lo lancar, gak nyasar, dan yang paling penting… bisa fokus nikmatin perjalanan, bukan cuma destinasinya.

Dan kalau pas lo duduk di bale bambu itu lo ngerasa hati lo lebih pelan…
mungkin itu bukan karena desa ini aja yang tenang.
Tapi karena lo akhirnya nemu jeda, di tengah hidup yang kebanyakan lari.

Karena gak semua healing harus ke gunung atau laut.
Kadang… secangkir teh hangat di bale bambu,
dan sepotong tanah liat yang dibentuk pelan-pelan,
juga bisa bikin hati lo pulang ke tempat yang lebih damai.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *