Beberapa hari lalu, gue lagi duduk di balkon penginapan di Senggigi. Sambil nyeruput kopi lokal yang pahitnya sopan, gue scroll-scroll galeri foto liburan. Tiba-tiba mata gue nyangkut di satu foto: gue lagi senyum kaku berdiri di depan ibu-ibu penenun di Desa Sukarara, lengkap dengan kain tenun yang dililitin ala-ala selempang pendekar.
Gue senyum sendiri. Bukan karena posenya bagus, tapi karena pengalaman hari itu tuh… jujur aja, gak gue ekspektasiin akan seberkesan itu.
Awalnya Gak Sengaja
Jujur, tujuan awal ke Sukarara itu cuma pengen ngisi waktu kosong. Setelah keliling Pantai Tanjung Aan, gue mikir, “Ngapain ya sore-sore gini?” Supir rental mobil gue, Bang Arman, nyeletuk,
“Gimana kalau kita mampir ke Desa Sukarara, tempat tenun terkenal di Lombok?”
Gue ngangguk aja, karena ya… kenapa enggak?
15 menit kemudian, mobil udah meluncur melewati jalanan lengang yang kanan-kirinya mulai dihiasi sawah dan rumah adat. Gue pikir bakal bosenin, ternyata gue salah besar.
Masuk ke Dunia yang Berdenyut Tenang
Begitu masuk area Desa Sukarara, suasananya langsung berubah. Udara lebih adem, anak-anak kecil lari-larian nyapa ramah, dan dari kejauhan kedengeran suara cletak-cletuk alat tenun yang kayak lagi ngobrol sama waktu.
Kami berhenti di salah satu rumah tenun tradisional. Seorang ibu menyambut dengan senyum lebar, lalu tanpa basa-basi langsung ngajak gue duduk di tikar sambil nunjukin hasil karya tenunnya. Tangannya luwes banget, geser-geser benang dengan ritme yang kayak musik tenang versi visual.
Di situlah gue mulai ngerasa… ini bukan sekadar lihat-lihat kain. Ini kayak nonton seni yang hidup.
Tenun Itu Gak Main-Main, Bro
Gue iseng nanya, “Bu, ini selembar kain bisa jadi berapa hari ngerjainnya?”
Beliau jawab santai, “Kalau motif yang biasa, bisa seminggu. Tapi yang rumit, sampai sebulan.”
Gue langsung diem. Selembar kain, sebulan? Dan itu bukan kain biasa. Itu cerita. Itu warisan. Itu sabar yang dibungkus pola-pola cantik.
Di satu sisi, gue malu sendiri karena selama ini mikir tenun cuma oleh-oleh mahal di toko bandara. Tapi di sini, gue ngelihat dengan mata kepala sendiri: tiap garis punya makna, tiap motif punya cerita leluhur.

Proses Menyentuh Tanpa Banyak Kata
Ada momen yang gue gak bisa lupain. Seorang ibu, matanya udah berkabut karena usia, tetap duduk di alat tenunnya. Tangan keriputnya stabil banget. “Saya tenun sejak umur 10,” katanya.
Gue nelen ludah.
Kadang lo gak butuh kata-kata puitis buat menyentuh hati. Cukup lihat tangan seorang ibu yang selama puluhan tahun nganyam sabar, lo akan paham arti tekun yang sesungguhnya.
Mau Beli? Siap-Siap Jatuh Hati
Gue akhirnya beli satu lembar kain tenun dengan dominasi warna merah marun dan ungu tua. Motifnya katanya khas Sasak, melambangkan keberanian dan harmoni.
Harga? Ya, lumayan. Tapi setelah lo lihat sendiri proses dan dedikasinya, lo akan ngerti: ini bukan kain biasa. Ini karya hidup.
Dan pas lo pegang, ada semacam energi hangat yang susah dijelasin. Mungkin karena ditenun dengan sepenuh hati, bukan mesin.
Cara Termudah ke Sukarara? Sewa Mobil Aja!
Nah, buat lo yang mulai tertarik ke Sukarara, satu saran: sewa mobil Lombok. Serius, ini opsi paling praktis dan fleksibel.
Desa Sukarara itu lokasinya sekitar 30 menit dari Bandara Internasional Lombok. Jalannya bagus, pemandangannya adem. Tapi jangan harap ada transportasi umum yang praktis. Lo butuh kendaraan pribadi biar gak repot.
Dan karena lokasi-lokasi menarik di Lombok itu tersebar, punya mobil sendiri bikin lo bisa mampir sesuka hati. Mau lanjut ke Pantai Kuta Mandalika? Bisa. Mau cari kuliner lokal di Praya? Gas aja.
Untungnya, sekarang banyak pilihan rental mobil di Lombok dengan supir ramah dan mobil nyaman. Dan kalau lo mau yang udah terbukti oke, ya… boleh banget kontak kami di Lombok Permata.
Kesimpulan yang Datangnya Bukan dari Otak, Tapi Hati
Hari itu, gue pulang dari Sukarara gak cuma bawa kain tenun. Tapi juga bawa rasa yang susah dijabarin. Semacam rasa terhubung sama akar budaya, rasa takjub sama tangan-tangan sederhana yang bikin karya luar biasa.
Dan lo tahu apa yang paling bikin gue terdiam?
Waktu ibu penenun itu bilang, “Kami tenun bukan untuk kaya. Tapi supaya budaya ini tetap hidup.”
Gue senyum. Di tengah dunia yang makin ngebut, ternyata masih ada tempat yang sabar, yang percaya bahwa yang lambat pun bisa jadi indah. Dan Desa Sukarara adalah salah satunya.
Jadi, kapan terakhir kali lo jalan-jalan bukan buat pamer foto, tapi buat belajar pelan-pelan tentang hidup?
Kalau belum pernah…
Mungkin udah waktunya lo ke Desa Sukarara.
Dan siapa tahu, lo gak cuma pulang bawa tenun. Tapi juga… hati yang lebih tenang.