Beberapa minggu terakhir ini gue lagi kepikiran soal… keaslian.
Gak cuma soal barang yang kita pegang, tapi soal proses dibaliknya.
Temen gue cerita, dia beli songket online—cantik, motifnya oke. Tapi pas dateng, bahannya tipis dan jahitannya abal. Rasanya kayak: kecewa banget.
Gw mikir, jangan-jangan sekarang makin banyak yang jualan songket tanpa cerita.
Gak kayak dulu… dulu kalau disebut songket Lombok, orang langsung inget Pringgasela.
Akhirnya gue putuskan untuk cari tahu sendiri, langsung ke sumbernya.
Gw ngobrol sama warga lokal, baca wawancara pengrajin, nonton video dokumenter—semuanya buat bisa bawa pulang cerita asli dari Pringgasela.
Dan kenapa sekarang gue bikin tulisan panjang kayak gini? Mungkin nih ya, sekali lagi gue bilang mungkin, karena setelah lo tau proses dan orang-orang di balik kain itu, lo gak cuma pegang kain—lo pegang cerita dan dedikasi.
Faktor Pertama: Menyusuri Jalan Pringgasela
Gue naik mobil dari Mataram pakai sewa mobil lombok lepas kunci dari Lombok Permata.
Supirnya ramah dan ngerti banget soal jalanan pedesaan.
Jalan ke Pringgasela itu gak besar, tapi asri; pinggirnya sawah, perbukitan, kadang monyet lewat.
Perjalanan sekitar 1,5 jam—tepat waktu buat ngobrol santai, dengerin playlist Lombok, dan siap-siap masuk ke “kampung songket”.
Setelah mobil berhenti di tengah desa, gue ngerasain vibe yang beda—sunyi tapi hidup.
Ada bunyi alat tenun, obrolan pengrajin perempuan, aroma kain yang baru jadi.
Gue langsung nyadar: ini bukan destinasi wisata mainstream. Ini ruang hidup yang terjaga.
Faktor Kedua: Proses Tenun yang Bikin Respect
Di Pringgasela, songket dibuat manual.
Perempuan-perempuan setempat duduk rapi di depan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), motif bergerak perlahan.
Gak ada deadline, gak ada tekanan—kata mereka, “nanti hasilnya cepet tapi gak sempurna”.
Prosesnya bisa berhari-hari untuk satu meter kain.
Oh iya, ini bukan hal mistis—tapi kalau lo amati, tangan mereka biasa bergerak berulang, masuk ke dalam mode “flow”.
Kayak meditasi: fokus penuh, tapi rileks.
Gue bilang sama supir, “Kayaknya tenun itu terapi jiwa juga ya.”
Dia cuma senyum, sambil nunjuk satu pengrajin yang tampak tenang.
Setelah lo biasa masuk ke frekuensi calm itu, kainnya jadi bukan cuma kain—jadi ∙cerita∙.
Faktor Ketiga: Cerita di Balik Motif
Motif songket Pringgasela bukan asal corak keren.
Ada arti budaya: motif lima bunga untuk simbol keluarga, garis lurus untuk simbol jalan hidup, sirkular kecil sebagai simbol kesuburan tanah Lombok.
Semua motif itu diwariskan turun temurun.
Gue ngobrol sama salah satu penenun—beliau cerita, “Motif dulu buat ritual panen, sekarang buat penutup pesta.”
Makanya kain ini bukan sekadar kain, tapi bagian dari ritme hidup masyarakat Lombok.

Kenapa Harus di Pringgasela?
Karena di tempat lain bisa aja mirip.
Cuma ada dua hal yang bikin Pringgasela jadi “rumah aslinya songket Lombok”:
- Komunitas yang menjaga kualitas.
Mereka bikin kelompok arisan tenun; kalau ada yang nakal jual songket kualitas rendah, mereka saling ingatkan. - Ekosistem pendukung.
Di desa ada galeri kecil, ada paket wisata edukasi, ada homestay milik warga—semua mendukung kelestarian.
Tips Belanja Songket Asli dengan Nyaman
- Pilih warna dan panjang kain sesuai kebutuhan.
Kalau mau buat selendang, 2 meter cukup. Buat ghaga atau kebaya butuh 3–4 meter. - Tanyakan asal benang.
Songket bagus pakai benang sutra atau katun tebal. Jangan ragu nanya. - Bawa tas kain sendiri.
Kalau beli banyak, minta warga bungkus sederhana. Tas kantong plastik bukan budaya lokal ya. - Hubungi dulu galeri via layanan rental mobil Lombok dari Lombok Permata.
Biar driver kita siap tunggu, dan lo bisa eksplor tanpa khawatir mobil kabur.
Kesimpulan: Bukan Sekadar Kain, Tapi Cerita
Setelah pulang dari Pringgasela, gue mikir lagi…
Kenapa hati gue bisa “flat” dan chill akhir-akhir ini?
Rasanya, karena gue makin sadar nilai kehidupan yang sederhana tapi bermakna.
Sama kayak songket: bukan tentang kilau emasnya, tapi prosesnya; bukan cuma tentang harga, tapi makna.
Gue senang karena bawa pulang songket—tapi lebih senang karena bawa pulang cerita, makna, dan koneksi manusia.
Dan kalau lo juga pernah bawa pulang produk instan tanpa cerita, mungkin lo perlu ke Pringgasela.
Gue bukan berarti songket lain jelek.
Tapi yang asli punya getaran.
Dan menurut gue, lo bisa ngerasain itu saat kainnya bergerak di tangan lo.
Seperti frekuensi otak yang stabil dari healing konsisten—lo tahu kalau setiap detailnya punya alasan, punya cerita… punya jiwa.
Kalau lo butuh kendaraan yang nyaman, driver yang tau jalan, dan siap nemenin explorasi budaya lokal—Lombok Permata siap jadi partner lo.
Bukan cuma rental mobil Lombok, tapi juga pembuka pintu cerita di bumi Lombok.