Kuliner Ikan Kuah Asam di Pelabuhan Lembar – Cita Rasa Otentik Lombok

Beberapa waktu lalu gue sempat main ke Pelabuhan Lembar dan gue sewa mobil lombok lepas kunci. Awalnya niat cuma numpang lewat, karena daerah situ kan lebih identik sama kapal yang lalu-lalang. Tapi entah kenapa, sore itu gue mutusin buat berhenti sejenak. Ada aroma khas yang nyenggol hidung: kuah segar, ikan bakar, dan sambal yang kayaknya manggil-manggil dari kejauhan.

Di salah satu warung pinggir pelabuhan, gue nemu menu legendaris: ikan kuah asam.
Kalau lo orang Lombok asli, mungkin ini makanan biasa. Tapi buat gue yang lagi dalam perjalanan, rasanya kayak ketemu sesuatu yang sederhana tapi dalem banget. Kayak lo lagi haus di tengah terik, terus dikasih segelas es kelapa muda. Seger, gak ribet, dan ngena.

Awalnya gue kira kuah asam itu mirip-mirip sup ikan pada umumnya. Tapi ternyata beda.
Kuahnya bening, asamnya pas, segar, ada aroma daun kemangi yang ngapung di permukaan. Ikan segar baru turun dari kapal nelayan, langsung dicemplungin ke dalam kuah panas. Gak banyak bumbu ribet. Cuma bawang, cabai, tomat, garam, dan asam. Simpel. Tapi justru di kesederhanaan itulah letak magisnya.

Gue sempet nanya ke ibu penjual warung,
“Bu, ini resepnya udah lama ya?”
Dia cuma senyum tipis sambil bilang, “Dari nenek, nak. Dulu kalau nelayan pulang, mereka gak mau ribet masak. Ikan langsung dimasak kuah asam, biar cepat dimakan rame-rame.”

Dan gue langsung mikir, oh iya… ini bukan sekadar makanan. Ini cerita tentang rumah, tentang keluarga, tentang bagaimana orang-orang sederhana mengekspresikan cinta lewat masakan.

Sambil makan, gue ngeliat suasana pelabuhan. Kapal-kapal ferry bersandar, orang sibuk bongkar muatan, anak-anak kecil lari-larian sambil bawa layangan bekas. Dan di tengah semua hiruk pikuk itu, semangkuk ikan kuah asam seolah jadi jeda. Kayak reminder kecil bahwa di balik semua perjalanan, ada hal-hal sederhana yang bisa bikin kita berhenti sejenak dan bersyukur.

Rasanya tuh… bukan sekadar asam. Ada semacam “healing” yang halus. Segar di lidah, tapi juga ringan di hati. Gue gak tau kenapa, tapi habis makan kuah asam, batin gue kayak tenang. Mungkin karena gue lagi capek, mungkin juga karena resep warisan itu punya energi yang gak bisa dijelasin pake logika.

Kalau dipikir-pikir, banyak orang datang ke Lombok buat nyari pantai indah, air terjun eksotis, atau naik Rinjani. Semua itu bener, gak salah. Tapi ada sisi lain dari perjalanan: kuliner. Dan ikan kuah asam ini menurut gue representasi yang pas. Dia gak heboh, gak penuh hiasan fancy kayak di restoran mahal. Tapi justru karena kesederhanaannya, lo bisa merasakan keaslian Lombok yang sesungguhnya.

Buat lo yang doyan jalan-jalan, coba deh sekali-kali berhenti di warung kecil kayak gini. Jangan cuma fokus ke spot Instagramable. Kadang, pengalaman paling ngena justru datang dari hal-hal yang gak lo rencanain. Kayak gue sore itu, berhenti di Pelabuhan Lembar, duduk di kursi plastik, sambil makan kuah asam panas ditemani angin laut.

Gue jadi inget satu hal.
Hidup tuh kadang mirip kuah asam. Ada rasa gurih, ada pedesnya, ada asam yang bikin kaget, tapi kalau semua seimbang, hasilnya jadi segar. Sama kayak perjalanan. Ada capeknya, ada dramanya, ada juga bagian yang bikin kita pengen berhenti. Tapi justru momen berhenti itu yang bikin kita sadar: oh, ternyata gue udah sejauh ini.

Dan ikan kuah asam jadi simbol kecil buat gue, bahwa gak semua yang berkesan harus megah. Kadang cukup semangkuk makanan sederhana, yang dibuat dengan niat tulus, bisa bikin hati lo penuh.

Jadi, kalau lo lagi ada di Lombok, apalagi lewat jalur Pelabuhan Lembar, jangan buru-buru cabut. Coba mampir ke warung pinggir jalan, pesan ikan kuah asam, duduk santai, dan resapi momen. Karena siapa tau, justru di situ lo nemu cerita yang lebih berharga daripada sekadar foto liburan.

Dan mungkin, kayak gue, lo juga bakal sadar… bahwa perjalanan bukan cuma soal tempat yang dikunjungi, tapi juga soal rasa-rasa sederhana yang jadi teman perjalanan.

Akhirnya gue ngerti,
kenapa banyak orang bilang kuliner lokal itu jendela budaya. Karena di satu mangkuk kuah asam ini, tersimpan sejarah, kebiasaan, bahkan filosofi hidup orang Lombok. Dan gue rasa, itu yang bikin makanan ini gak akan pernah lekang dimakan waktu.

Itulah kenangan gue dengan ikan kuah asam di Pelabuhan Lembar.
Bukan makanan mewah, bukan juga kuliner viral yang penuh gimmick. Tapi justru karena itu, ia jadi spesial.
Kadang yang sederhana itu yang paling melekat.

Dan siapa tau, suatu hari nanti kalau lo mampir ke sana, lo juga bakal ngerasain hal yang sama. Duduk di bangku kayu, ditemani angin laut, dan semangkuk kuah asam yang segar, seolah bilang:
“Selamat datang di Lombok. Nikmati perjalananmu.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *