Desa Pringgasela Barat: Sentra Songket Halus Lombok Timur

Beberapa bulan lalu, gw jalan-jalan ke Lombok, bukan buat ke pantai, bukan juga buat naik Rinjani. Tapi gara-gara iseng scrolling video pendek tentang kain tenun, gw nemu satu nama yang terus muncul: Pringgasela.

Awalnya sih gw kira ini cuma nama desa biasa. Tapi setelah ngobrol sama temen yang asli Lombok, dia bilang, “Kalau lo mau lihat songket halus yang beneran hidup dari jari-jari orang kampung, lo harus ke Pringgasela Barat.”

Dan ya, akhirnya gw pun meluncur ke sana. Gw pakai layanan sewa mobil Lombok murah dari Lombok Permata, karena jujur aja, akses ke desa ini gak bisa dijangkau angkot apalagi gojek. Supirnya ternyata orang lokal yang ngerti seluk-beluk desa, jadi perjalanan jadi kayak dapet bonus cerita-cerita dari mulut ke mulut.

Tenun Bukan Sekadar Kain

Waktu sampai di Pringgasela Barat, hal pertama yang bikin gw takjub bukan kainnya, tapi… suara. Suara cetok-cetok dari alat tenun tradisional yang dipakai para ibu di halaman rumah. Suara itu kayak denting jam yang gak pernah berhenti. Dan makin lama, makin terasa… meditatif.

Di desa ini, songket bukan sekadar produk. Bukan juga sekadar warisan. Ini semacam doa yang dijahit dari satu benang ke benang berikutnya. Setiap motif punya arti. Setiap warna punya filosofi. Dan yang bikin gw makin merinding adalah: semua itu gak dicetak, gak dipola pakai komputer. Tapi lahir dari ingatan. Dari rasa.

Salah satu ibu yang gw temui—namanya Bu Nur, tangan keriput, senyumnya hangat—bilang gini, “Kalau saya sedih, motifnya biasanya lebih padat. Kalau hati lagi senang, jarak antar motif bisa lebih longgar.” Gw cuma bisa manggut-manggut. Karena ya… siapa sih yang kepikiran kalau suasana hati bisa tumpah ke benang?

Benang Halus, Hati Lebih Halus

Selama beberapa jam di sana, gw cuma duduk. Ngeliatin mereka kerja. Gak ada musik. Gak ada suara TV. Hanya suara alat tenun dan angin yang lewat di sela-sela bambu rumah adat. Tapi anehnya, batin gw ngerasa… tenang.

Mungkin karena semuanya berjalan pelan. Gak ada yang buru-buru. Di tempat kayak gini, lo jadi bisa ngeliat bagaimana keindahan lahir dari proses yang sabar. Dari tangan-tangan yang gak pernah sekolah fashion design, tapi tahu cara mengikat budaya ke dalam kain.

Dan perlahan, gw jadi merenung. Di kota, kita ngejar banyak hal. Target, angka, validasi. Tapi di desa ini, mereka cuma pengen benangnya gak kusut. Motifnya nyambung. Dan hasilnya bisa dibanggakan tanpa perlu dijual mahal-mahal.

Lombok Itu Gak Cuma Pantai

Gw tahu Lombok terkenal karena Gili, karena Senggigi, karena Rinjani. Tapi jujur aja, menurut gw, salah satu bagian terbaik dari Lombok adalah desa-desa kayak Pringgasela Barat ini. Tempat yang gak minta dikenal. Gak pamer keindahan. Tapi nyimpen kedalaman.

Kalau lo pengen dapet pengalaman kayak gini, gw saranin banget untuk jalan ke bagian timur pulau ini. Dan kalau lo gak tahu harus naik apa, atau gimana cara ke sana, ya tinggal kontak rental mobil Lombok dari Lombok Permata. Supirnya ramah, rutenya bisa fleksibel, dan mereka tahu kapan lo cuma pengen diem sepanjang jalan sambil mikir.

Helaian Kain, Helaian Kesadaran

Waktu perjalanan pulang, gw duduk di mobil sambil melamun. Di pangkuan gw, ada sehelai songket hasil buatan Bu Nur. Warna ungu tua dengan motif bunga api. Katanya sih, motif itu melambangkan harapan yang gak pernah padam, walau hidup sering kali redup.

Dan gw mikir… mungkin itu juga yang dirasain para penenun di sana. Mereka gak berharap viral. Mereka gak menuntut dunia ngelirik. Tapi mereka tetap menenun. Hari demi hari. Benang demi benang. Harapan demi harapan.

Kadang kita pikir healing itu harus liburan mahal, retreat ke luar negeri, atau meditasi 7 hari. Tapi ternyata, duduk beberapa jam di desa yang tenang, denger suara alat tenun, dan ngobrol sama orang yang hidupnya jujur… bisa jauh lebih menyentuh.

Makna yang Gak Bisa Ditemuin di Mall

Gw jadi ngerti sekarang, kenapa songket dari Pringgasela Barat disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik. Bukan cuma karena detailnya. Tapi karena cerita di baliknya. Karena tenunan itu bukan dikerjakan dengan target produksi, tapi dengan rasa.

Dan dalam rasa itu, ada jejak nenek moyang. Ada sabar. Ada kesunyian. Ada keberanian untuk gak ikut-ikutan dunia yang lari kencang.

Tenun Bukan Sekadar Kain

Kalau lo ngerasa hidup lo belakangan ini terlalu cepat, terlalu bising, dan lo udah terlalu sering capek ngikutin semua yang trending, coba deh melipir ke tempat kayak Pringgasela Barat.

Lo gak cuma bakal pulang bawa oleh-oleh kain tenun, tapi juga bisa bawa pulang hati yang lebih halus.

Kayak helaian songket…
yang pelan-pelan, ngajarin kita…
bahwa keindahan sejati itu…
selalu lahir dari kesabaran.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *