Desa Mamben Lauk: Tempat Bertemunya Budaya Sasak dan Islam Awal

Beberapa waktu lalu, pas lagi road trip ke Lombok Timur buat nyusun rute baru untuk layanan penyedia sewa mobil Lombok, gue mutusin buat mampir ke desa yang namanya belum terlalu sering disebut di brosur wisata mainstream: Desa Mamben Lauk.

Awalnya gak ada ekspektasi tinggi. Gue cuma pengen lihat-lihat lokasi buat customer yang nyari suasana tenang, alami, dan punya nilai budaya. Tapi ternyata… perjalanan ke Mamben Lauk malah bikin gue merenung lebih dalam dari yang gue kira.

Desa yang Bikin Lo Nunduk Bukan karena Sinyal Jelek
Begitu masuk ke area Mamben Lauk, jalanan mulai sepi. Mobil melaju pelan, diapit sawah dan deretan pohon tua. Udara bersih. Warga senyum setiap kali kita lewat. Gak ada hiruk-pikuk. Gak ada baliho gede. Dan anehnya, makin gue deket ke pusat desanya, hati gue kayak… nunduk sendiri.

Gue gak lebay, tapi suasananya tuh kerasa banget. Tenang tapi khidmat. Seolah desa ini bukan cuma tempat tinggal, tapi juga tempat semedi dari zaman dulu. Lo gak bakal nemu tempat karaoke di sini, tapi lo bakal nemu mushola kecil yang usianya mungkin udah lebih tua dari kakek lo.

Dan ternyata, feeling gue gak salah.

Tempat Perjumpaan: Antara Sasak, Waktu, dan Ajaran Awal Islam
Gue sempet ngobrol sama seorang tokoh adat di sana, Pak Rahman. Orangnya lembut, tapi tatapannya kayak tahu lebih banyak dari yang dia ceritain. “Mamben Lauk ini bukan cuma desa biasa,” katanya. “Ini tempat bertemunya dua arus besar: Sasak lama dan Islam yang baru masuk.”

Gue sempet bengong. Maksudnya gimana?

“Dulu, sebelum Islam menyebar ke Lombok, masyarakat kami sudah punya kepercayaan sendiri. Ada sistem nilai, ritual, doa, penghormatan pada leluhur. Tapi waktu Islam datang, alih-alih bentrok, justru berbaur.”

Dan lo tau apa yang bikin gue kaget?

Beberapa tradisi masyarakat di sini ternyata masih menggabungkan elemen Sasak kuno dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, waktu ada selamatan, masih ada urutan doa dan simbol-simbol adat. Tapi tetap shalat lima waktu, tetap ngaji tiap sore. Gak ada paksaan. Gak ada penghapusan budaya. Semua mengalir… kayak air di sungai yang dari dulu gak pernah kering di desa itu.

Masjid Tua, Pohon Keramat, dan Jejak Leluhur
Gue diajak keliling, lihat masjid tua yang dindingnya masih dari batu alam. Gak ada marmer, gak ada AC, tapi hawa di dalamnya adem bukan main. Di salah satu sudut desa juga ada pohon tua, yang katanya dijaga sejak zaman dulu. Warga percaya, tempat itu sakral. Bukan untuk disembah, tapi dihormati sebagai bagian dari perjalanan spiritual nenek moyang.

Dan di momen itu, gue mulai sadar…

Mungkin ini yang kita sering lupa. Bahwa identitas itu gak harus dipisah-pisah. Kadang, justru dalam percampuran yang damai, makna hidup muncul. Mamben Lauk bukan tempat nostalgia yang terjebak masa lalu, tapi bukti bahwa masa lalu bisa berjalan bareng masa kini tanpa saling injak.

Kenapa Lo Harus Ke Sini (Bukan Cuma Karena Jalanannya Mulus)
Kalau lo tanya, “Worth it gak ke Mamben Lauk?”, gue bakal jawab: Banget. Tapi jangan ke sini dengan mindset turis yang cuma pengen konten. Ke sini lah sebagai orang yang mau belajar—tentang tenang, tentang menerima, dan tentang bagaimana budaya gak selalu harus dipertentangkan.

Dan ya, ngomong-ngomong soal jalan… tenang, akses ke sini udah oke banget. Bahkan buat mobil city car pun masih nyaman. Makanya rute ini sekarang udah kita masukin ke opsi rental mobil Lombok via Lombok Permata, buat para tamu yang pengen cari destinasi yang lebih dalam dari sekadar pantai atau bukit.

Kadang, Budaya Itu Gak Perlu Dirayakan. Cukup Didengarkan.
Gue belajar satu hal penting waktu duduk di teras rumah kayu milik Pak Rahman sore itu. Angin sepoi-sepoi, suara ayam dari kejauhan, dan teh manis yang disajiin hangat.

“Anak-anak sekarang banyak yang lupa,” katanya. “Mereka pikir budaya itu harus selalu ditampilkan, dipamerin, jadi event. Padahal kadang, budaya cukup didengarkan. Cukup dihargai, tanpa harus diubah-ubah.”

Dan kata-kata itu langsung nyantol.

Sering kali kita terlalu sibuk meramaikan segala hal, sampai lupa bahwa hal paling sakral justru muncul dalam sunyi. Mamben Lauk ngajarin gue, bahwa ada jenis kebijaksanaan yang gak bisa lo dapet dari buku atau internet. Tapi dari cara warga menyapa, dari cara mereka merawat makam leluhur, dari cara mereka berbicara pelan tapi penuh makna.

Lombok Permata: Bukan Cuma Sewa Mobil, Tapi Jembatan Pengalaman
Lewat layanan sewa mobil di Lombok yang kami sediakan di Lombok Permata, gue pengen mulai arahkan lebih banyak traveler ke desa-desa kayak Mamben Lauk. Bukan buat dijadikan objek wisata, tapi buat dijadikan ruang belajar. Tempat hening yang ngajarin kita arti hidup dalam keberagaman.

Karena kadang ya…

Lo gak butuh healing ke luar negeri.

Lo cukup duduk diam di teras rumah tua, dengerin cerita dari orang yang udah hidup lebih lama dari rasa gelisah lo. Dan entah kenapa, pas lo pulang… hati lo jadi lebih ringan.

Bukan karena masalah lo selesai. Tapi karena lo akhirnya ngerti, bahwa hidup gak harus selalu gegap gempita.

Kadang, justru yang paling menenangkan…
adalah desa yang gak ada di daftar populer,
tapi ada di daftar yang bikin lo akhirnya bisa bernapas lebih pelan.

Dan itu, buat gue…
lebih dari cukup.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *