Beberapa minggu terakhir ini gue lagi pengen sesuatu yang beda… Bukan pantai, bukan air terjun, tapi tempat yang bisa bikin rasa di dalam dada itu… flat.
Temen cerita sedih, gue dengerin, prihatin, tapi hati gue… adem aja.
Nggak kayak biasanya, yang langsung kepancing emosi.
Awalnya gue sempet mikir, jangan-jangan lo mulai gak peka? Empati lo mulai tumpul?
Tapi pas gue amatin lebih dalam, ini semacam penanda. Penanda bahwa hati gue lagi butuh ruang hening.
Dan entah kenapa, gue kepikiran ke Desa Songak, sebuah permukiman tua di kaki Gunung Tunak, Lombok Utara.
Faktor Pertama: Jalan Tenang ke Gunung Tunak
Gue sewa mobil lombok bandara dari Lombok Permata buat ke sana. Jalanannya sempit, berkelok, dan gak stabil sinyal. Gue sempet muter dua kali, tapi justru itu yang bikin perjalanan ini terasa chill.
Gak ada hiruk pikuk jalan besar. Hanya suara mesin mobil, angin dari gunung, dan sesekali kicau burung.
Dan ini poin penting: Kalau lo mau cari ketenangan otentik, lo butuh kendaraan yang fleksibel dan supir yang paham medan.
Lombok Permata ngasih itu: mobil nyaman, drivernya paham lorong-lorong desa, dan jalan ke tempat yang biasa orang gak tau—dengan aman.
Faktor Kedua: Suasana Hening di Permukiman Tua
Sesampainya di Songak, lo langsung disambut kabut tipis dan aroma rumput basah. Rumah-rumah kayu tua berjajar rapi, gentengnya udah kerempeng kena matahari.
Gue duduk di emperan rumah warga, ngerasain angin dingin sampe ke urat nadi. Tapi gue gak ngerasa dingin.
Pas lo lagi butuh jeda, udara dingin itu justru bikin lo grounded.
Gue sampai mikir, ini pertama kali dalam sebulan gue diam tanpa gangguan.
Dan pikiran gue… bisa adem. Bukan hilang, tapi tenang.
Faktor Ketiga: Cerita Leluhur dari Setiap Batu
Gue sempet cerita sama Bapak Subali—yang udah tinggal di Songak lebih dari setengah abad.
Dia cerita dulu desa ini dibangun sama satu keluarga besar yang pindah dari lembah seberang.
Katanya setiap batu pondasi dipilih sambil baca mantra kecil, doa agar desa ini selalu hijau dan warganya aman dari bencana.
“Kami tanam doa di tiap sudut desa, Nak. Sekarang lo lihat bentuknya bukan cuma rumah, tapi doa yang diwariskan.”
Gue sempet mikir… wow. Artinya, tiap elemen di desa itu bukan sekadar bangunan. Tapi warisan spiritual.
Dan sekarang, gue duduk di sana… gue ngerasa jadi bagian dari doa itu—meski cuma lewat perjalanan singkat.

Faktor Keempat: Ritme Hidup yang Pelan Tapi Bermakna
Warga desa menjalani hari tanpa tergesa. Ngurus sayur di kebun, jemur gabah, ngobrol ringan di pojokan bale.
Gue tanya: “Kok lo bisa hidup kayak gini, gak bosen?”
Jawabannya:
“Enak kok, Nak. Gak dikejar-kejar takut gagal atau khawatir soal ini-itu.”
Gue inget, di kota, hidup kita kayak di treadmill—selalu gas, pindah tujuan, gak pernah berhenti. Sampai akhirnya kita capek sendiri.
Tapi di Songak, hidup kayak disetel ke “speed slow”. Dan hasilnya… hidup masih kerasa.
Jalan Pulang yang Bikin Refleksi
Di perjalanan pulang, gue diem lama di dalam mobil.
Bukan karena capek, tapi karena banyak pikiran yang ambil tempat.
Tentang doa yang tersembunyi di sudut desa. Tentang waktu yang bukan selesai begitu lo udahan.
Gue pikir gue cuma butuh jalan-jalan biasa.
Tapi ternyata, gue datang ke Songak buat… pulang.
Pulang ke ritme yang sempat hilang.
Peran Mobil Lombok Permata di Tengah Hening
Lo bisa jalan ke tempat-tempat keren. Tapi ini beda.
Nyampe Songak yang remote, butuh kendaraan yang beneran ngerti jalan.
Butuh supir yang sabar, ngerti kapan berhenti buat foto, kapan nungguin lo refleksi.
Itulah kenapa gue bilang: perjalanan batin gak bisa dipisah dari pengalaman fisiknya.
Kalau lo bertanya:
“Kok bisa mobil sebegitu pentingnya buat perjalanan kayak gini?”
Jawabannya: karena mobil itu… perpanjangan pikiran lo. Lo mau tenang? Lo minta silence?
Ya mobilnya mesti support itu semua.
Kesimpulan: Cukup Tua untuk Jadi Pelajaran
Desa Songak bukan cuma permukiman tua.
Dia adalah cerminan betapa menghargai waktu dan doa bisa bikin hidup lebih ringan, bukan rumit.
Gue berangkat dengan pikiran penuh kegelisahan. Pulangnya? – Hening.
Itu cukup, buat hari-hari yang biasanya selalu ngegas.
Kalau lo ngerasa dunia di luar mulai bikin sesak,
coba deh pergi ke Songak.
Ambil mobil dari Lombok Permata.
Biarkan tubuh lo dirangkul alam, renungkan doa yang ada di bumi tua itu, dan rasakan:
Kadang pelan itu indah.
Kadang tenang itu healing.
Kadang pulang bukan soal rumah, tapi soal hati yang udah nemu jeda.
Akhir kata…
Kalau suatu hari lo duduk di depan rumah kayu tua di kaki Gunung Tunak, dengarkan suara alam, dan sadar kalau jauh dari bising itu… ✨
Kamu lagi di tempat yang tepat.
Dan mobil kamu dari Lombok Permata? Dia lebih dari sekadar kendaraan. Dia teman dalam perjalanan pulang.