Kadang, hidup tuh kayak playlist Spotify yang diputer ulang terus. Lagu sama, beat sama, ending-nya bisa ditebak. Dan gue, beberapa minggu lalu, ngerasa gitu banget.
Kerja, makan, tidur, scroll medsos, repeat. Bahkan weekend pun mulai kehilangan rasa. Tempat nongkrong? Udah semua. Cafe lucu? Udah bosen. Pantai? Bagus, tapi rame banget.
Sampai akhirnya, ada satu titik di mana gue bilang ke diri sendiri:
“Udahlah, cabut aja. Ke mana kek, yang penting bukan sini.”
Dan dari semua tempat yang bisa gue pilih, yang muncul di kepala malah satu nama yang bahkan belum pernah gue dengar sebelumnya: Air Terjun Semporonan.
Awal Mula: Ngobrol Iseng sama Supir Sewa Mobil
Waktu gue sewa mobil Lombok lewat Lombok Permata, supirnya ngajak ngobrol, ya sekadar basa-basi awalnya. Tapi obrolan ngalir terus, dan dia bilang gini:
“Kalau mau ngerasain Lombok yang asli, coba ke Air Terjun Semporonan di Lombok Timur. Gak banyak yang tahu, tapi tempatnya… nyentuh hati.”
Gue diem sebentar.
“Nyentuh hati?”
“Serius. Bukan cuma air terjunnya yang adem, tapi perjalanan ke sananya juga kayak… terapi batin.”
Dan entah kenapa, kalimat itu nyantol terus di kepala. Gue bilang, “Ayo, antar saya ke sana.”
Perjalanan yang Bukan Sekadar Jalan
Dari Mataram ke Lombok Timur, sekitar dua setengah jam. Tapi perjalanan ini beda. Mobil melaju pelan, nembus hijaunya sawah, bukit yang mulai menguning karena matahari, dan desa-desa yang bikin lo merasa kayak balik ke masa kecil.
Gak ada klakson, gak ada rush hour. Yang ada cuma suara angin, gemerisik pohon pisang, dan beberapa anak kecil lari-larian di pinggir jalan sambil melambaikan tangan.
Dan lo tau gak? Itu baru awalnya.
Begitu masuk ke kawasan kaki Rinjani, udaranya berubah. Lebih sejuk, lebih sunyi, tapi bukan sunyi yang sepi—sunyi yang menenangkan.
Trekking Mini dan Pikiran yang Ikut Pelan
Sampai di area parkir Semporonan, gue harus jalan kaki lagi sekitar 20 menitan. Tapi jalurnya bersahabat kok—lewat jalan setapak yang dinaungi pohon-pohon rindang dan suara burung-burung yang gue bahkan gak bisa identifikasi jenisnya.
Dan di titik ini, sesuatu dalam diri gue mulai melambat.
Pikiran gue yang biasanya rame kayak pasar malam, tiba-tiba jadi hening.
Langkah gue pelan, napas gue teratur, dan hati gue… kayak dibasuh pelan-pelan.

Air Terjunnya Biasa Aja? Justru Karena Itu Istimewa
Air Terjun Semporonan gak tinggi-tinggi amat. Mungkin cuma 15 meter. Tapi yang bikin beda, bukan ukuran airnya.
Tempatnya tuh… intim. Tersembunyi di balik lembah kecil, dengan kolam alami yang jernih banget. Gak rame, gak ada musik keras, gak ada orang jualan pop mie. Cuma suara air dan dedaunan.
Dan lo tau gak apa yang gue lakukan di sana?
Gak banyak.
Gue duduk di batu pinggir kolam, lepas sandal, celupin kaki, dan diem. Sesekali liat ke arah air terjun. Sesekali tutup mata.
Dan entah kenapa, itu cukup.
Obrolan Tanpa Kata
Gue gak bawa temen waktu itu. Tapi ada dua pendaki lokal yang juga lagi di situ. Kita cuma saling senyum, tanpa banyak omong.
Tapi suasana itu—suasana di mana semua orang paham untuk gak ribut—itu yang jarang banget bisa lo temuin di tempat wisata sekarang.
Kayak ada kesepakatan batin tak tertulis:
“Tempat ini terlalu sakral buat diisi kebisingan.”
Pulang Tapi Gak Sama
Waktu gue balik ke mobil, baju agak basah, kaki kotor, tapi hati gue bersih.
Ada bagian dari diri gue yang kayak di-reset di air terjun itu.
Gue bilang ke supirnya:
“Pak, saya kayaknya gak bakal upload tempat ini ke Instagram deh.”
Dia senyum, “Bagus. Biar tetap jadi rahasia.”
Dan gue ngerti maksudnya. Ada tempat-tempat yang memang gak harus viral. Cukup lo simpan di hati, sebagai pengingat bahwa hidup gak harus selalu keras, gak harus selalu cepat, dan gak harus selalu ramai.
Jadi, Worth It Gak?
Kalau lo nyari healing, bukan selfie.
Kalau lo butuh tenang, bukan tontonan.
Kalau lo pengen merasa pulang ke diri sendiri…
Air Terjun Semporonan adalah jawabannya.
Dan kalau lo mau ke sana dengan nyaman, ya jelas Lombok Permata jawabannya. Karena jalan ke tempat sunyi itu, harus dimulai dari perjalanan yang nyaman juga.
Kadang, tempat yang paling ngebekas di hidup kita bukan yang paling megah. Tapi yang paling diam. Yang paling sederhana. Yang paling jujur.
Dan Air Terjun Semporonan, buat gue, adalah tempat itu.