Wisata Sejarah di Kota Tua Ampenan: Jejak Kolonial di Lombok

Beberapa hari lalu, gue jalan-jalan sendiri ke Kota Tua Ampenan.
Bukan karena sok jadi backpacker, atau tiba-tiba terinspirasi dari film-film bertema sejarah. Tapi… lebih karena gue butuh jeda. Butuh ruang hening yang gak cuma hening di luar, tapi juga di dalam. Dan entah kenapa, nama “Ampenan” muncul terus di kepala gue kayak bisikan halus yang ngajak ngobrol.

Gue naik layanan sewa mobil Lombok terbaik dari Lombok Permata, nyetir santai dari Mataram, cuma sekitar 20 menitan. Tapi yang gue rasain, ini bukan perjalanan biasa. Begitu roda mobil gue ngelewatin gapura tua bertuliskan “Selamat Datang di Kota Tua Ampenan,” hati gue langsung kayak dicekik pelan.

Bangunan-bangunan tua berdiri diam. Ada yang masih kokoh, ada yang udah nyaris rubuh, dan ada juga yang setengah direnovasi. Tapi semuanya punya satu kesamaan: mereka menyimpan suara-suara masa lalu yang gak pernah benar-benar hilang.

Awalnya gue cuma mau foto-foto.
Tapi makin lama gue jalan kaki di trotoar sempit itu, kaki gue kayak narik gue masuk ke cerita yang gak pernah ditulis. Toko kelontong dengan papan nama berkarat. Jendela-jendela kayu yang tinggal separuh daun. Teras rumah dengan ubin Belanda dan pagar besi tempa yang udah dimakan waktu.

Gue sempet duduk di warung kopi pinggir jalan.
Pemiliknya, Pak Har, duduk nyeduh kopi tanpa banyak bicara. Tapi begitu gue buka obrolan soal bangunan tua di seberang jalan, matanya langsung nyala.

“Itu dulunya toko tekstil orang Arab,” katanya sambil nyruput kopi.
“Jauh sebelum Lombok rame sama turis. Waktu Ampenan masih jadi pelabuhan utama.”

Ternyata, Ampenan dulu pusat perdagangan.
Kolonial Belanda masuk, bawa peta dan perintah. Bangunan-bangunan didirikan. Jalan dibikin lurus, kayak mentalitas mereka: lurus, dingin, dan penuh kontrol.

Tapi di sela-sela itu, warga lokal, para pedagang Tionghoa, Arab, dan Bugis, hidup berdampingan. Kota ini semacam melting pot—tapi versi tropis yang berdebu dan penuh cerita.

Dan gue mulai mikir…

Apa kabar si pedagang yang dulu duduk di balik meja kasir toko kecil itu?
Apa rasanya jadi warga lokal yang tiap hari lihat pasukan kolonial mondar-mandir dengan bayonet?
Dan gimana rasanya hidup di kota yang dulu nadi perdagangan, tapi sekarang cuma sunyi?

Gue jalan lagi.
Di salah satu pojokan, gue nemu gedung tua dengan tulisan “Apotek Nirmala”. Pintu kayunya reot, tapi entah kenapa, aura bangunan itu hangat. Gue bisa bayangin seorang apoteker tua, mungkin tahun 1930-an, nyiapin racikan obat sambil ngobrol sama pasien yang datang dari desa seberang.

Tiba-tiba gue sadar…
Ampenan itu bukan sekadar kota tua. Dia kayak album foto yang udah berdebu, tapi kalau lo buka satu halaman aja, lo bisa nyium aroma masa lalu yang gak bisa dideskripsiin. Bukan karena dramatis. Tapi karena… tenang.

Di sanalah gue mulai paham sesuatu.
Selama ini kita mikir healing itu harus naik gunung, ke pantai tersembunyi, atau meditasi di pulau terpencil. Tapi ternyata…
Healing juga bisa datang dari lorong waktu.
Dari bangunan tua yang ngingetin kita tentang transisi.
Bahwa dulu ada kekuasaan, ada gejolak, ada suara rakyat—dan semuanya berlalu.

Ampenan ngajarin gue bahwa sejarah bukan tentang masa lalu yang mati, tapi tentang keberanian buat hidup hari ini dengan tenang.

Gue balik ke mobil sore itu.
Mesin nyala, AC dinyalain. Tapi gue gak langsung jalan. Gue diem dulu, liatin langit yang mulai kemerahan. Ada anak kecil main bola di pinggir jalan, dan seorang ibu duduk di emperan toko sambil nyulam kain.

Gue sadar, mereka gak butuh kita untuk simpati.
Ampenan gak minta dikasihani karena tua.
Dia cuma pengen lo datang, duduk, lihat, dan denger.

Karena kadang, yang kita butuhin bukan tempat baru, tapi cara baru ngeliat tempat lama.

Dan buat lo yang baca ini, mungkin lo lagi mikir:

“Gue capek sama rutinitas.”
“Gue butuh escape.”
Atau sekadar: “Gue pengen tahu Lombok lebih dari sekadar pantai.”

Gue cuma bisa bilang:
Coba deh ke Kota Tua Ampenan.

Gak perlu itinerary ribet.
Gak usah buru-buru foto buat Instagram.

Cukup dateng…
Lihat dinding yang retak, jalan kaki di trotoar berkerikil, duduk di warung kopi, dan rasain angin sore bawa aroma garam dari laut.

Di situ, mungkin lo gak nemu jawaban.
Tapi lo bisa nemu ruang.
Ruang buat diem, buat ngerti, dan buat ngelepas.

Dan kalau lo pengen ke sana tapi bingung soal kendaraan, ya udah… Lombok Permata siap bantu.

Karena kadang, yang kita perluin bukan liburan, tapi pulang.
Dan Kota Tua Ampenan?
Bisa jadi salah satu tempat paling hening untuk pulang sebentar… ke diri lo sendiri.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *