Ada satu hal menarik yang sering bikin saya senyum sendiri tiap kali main ke Lombok.
Bukan pantai putihnya, bukan juga bukit hijau yang fotonya bisa masuk kalender wisata.
Tapi justru suasana pasar tradisionalnya.
Pasar Lawata, misalnya.
Sekilas, ya pasar. Ada teriakan pedagang, ada aroma rempah bercampur wangi kue basah, ada tawar-menawar yang seru. Tapi kalau kita jalanin pelan-pelan, beneran kayak lagi masuk mesin waktu. Rasanya kita dibawa ke jantung budaya Sasak yang masih berdenyut sampai hari ini.
Saya sempat mikir, “Kenapa sih makanan di pasar kayak gini bisa lebih bikin bahagia ketimbang brunch di kafe mahal?”
Dan jawabannya ketemu waktu duduk di sudut Pasar Lawata, sambil ngegigit jaje tujak hangat.
Makanan itu tentang cerita, bukan cuma rasa.
Di Pasar Lawata, tiap jajanan punya latar belakang.
Ada nasi balap puyung dengan sambal pedasnya yang katanya diciptakan dari semangat para ibu-ibu petani. Ada juga beberuk terong yang sederhana, tapi bikin lidah kaget karena segarnya nyatu sama pedas cabe rawit.
Waktu pedagang cerita kalau resep itu diwarisin dari neneknya, saya jadi sadar.
Makanan di sini tuh bukan sekadar dagangan.
Dia kayak “harta karun rasa” yang dijaga turun-temurun.
Dan mungkin itu kenapa kita bisa langsung ngerasa nyaman, kayak lagi pulang ke rumah meski baru pertama kali datang.
Makan di pasar itu bikin kita sadar hidup bisa sederhana.
Saya sempet bandingin.
Sarapan di hotel bintang lima lengkap dengan croissant butter premium, rasanya enak sih. Tapi ada jarak—kaku, teratur, terbungkus rapi.
Sedangkan duduk lesehan di Pasar Lawata, sambil makan sate rembiga dengan sambal yang belepotan di tangan, rasanya lebih jujur.
Dan entah kenapa, saya ngerasa lebih hidup di situ.
Orang-orang ngobrol apa adanya, ketawa keras, anak-anak lari-lari di antara lapak.
Nggak ada yang peduli baju saya belepotan kuah.
Justru di situlah letak kehangatannya.

Perjalanan ke pasar itu bagian dari petualangan.
Buat wisatawan yang baru datang ke Lombok, perjalanan menuju Pasar Lawata bisa jadi seru banget.
Jalanan berliku, melewati sawah hijau, rumah tradisional Sasak dengan atap alang-alang, sampai akhirnya kita nyemplung ke hiruk pikuk pasar.
Dan di sini, saya mau jujur: kalau nggak nyewa mobil, rasanya ribet.
Bukan karena transportasi umum nggak ada, tapi kalau mau eksplor bebas tanpa kejar-kejaran waktu, sewa mobil Lombok Bandara jauh lebih nyaman.
Itulah kenapa Lombok Permata hadir—biar wisata kuliner kayak gini nggak cuma jadi angan-angan.
Saya jadi kepikiran, kenapa tiap kali pulang dari pasar, hati saya lebih adem.
Mungkin karena pasar ngasih kita pengalaman yang lengkap: rasa, bau, suara, dan bahkan tawa orang asing yang ketemu sekilas.
Itu semua nyatu jadi energi yang bikin kita ngerasa, “Oh, hidup sederhana gini aja udah cukup.”
Kalau dipikir-pikir, konsep healing trip yang orang-orang sering cari ke luar negeri itu sebenernya bisa kita temuin di sini.
Cuma bedanya, versi lokal ini lebih real.
Nggak ada musik meditasi dari speaker, yang ada justru suara tukang sayur teriak, “Seribu tiga ikaaaan!”
Dan ajaibnya, hati tetap tenang.
Hikmah yang saya dapet dari Pasar Lawata:
Pertama, makanan lokal itu lebih dari sekadar kuliner—dia jembatan ke budaya.
Kedua, ketulusan orang pasar ngajarin kalau kebahagiaan itu bisa muncul dari hal kecil.
Ketiga, perjalanan ke pasar pun bisa jadi cerita yang kita bawa pulang, sama berharganya kayak foto-foto pantai di Lombok.
Jadi kalau ada orang bilang, “Ngapain jauh-jauh ke Lombok cuma buat ke pasar?”
Saya bisa jawab, “Karena pasar itu cermin jiwa tempatnya.”
Dan buat Anda yang mau coba sendiri pengalaman ini, percaya deh—sewa mobil Lombok lewat Lombok Permata adalah keputusan yang bikin perjalanan lebih gampang.
Nggak perlu ribet mikirin transportasi, tinggal fokus aja ke satu hal: menikmati setiap gigitan makanan khas Sasak yang bikin senyum muncul tanpa diminta.
Akhirnya saya sadar…
Mungkin inilah alasan kenapa Pasar Lawata selalu rame, meski jaman sudah berubah.
Karena di balik hiruk pikuknya, ada sesuatu yang bikin kita pulang dengan hati yang lebih penuh.
Itulah cerita saya soal Pasar Lawata.
Bukan sekadar tempat belanja, tapi ruang hidup yang ngajarin kalau kebahagiaan kadang sesederhana sepiring nasi balap, segelas kopi hitam, dan tawa pedagang yang bilang, “Makan aja dulu, bayar belakangan.”
Dan menurut saya…
itu adalah pengalaman terbaik yang bisa Anda dapetin di Lombok, kalau berani keluar dari itinerary standar.