Gue gak nyangka, sepotong keheningan bisa jadi hadiah terbaik dari sebuah perjalanan.
Dan semua itu gue temuin… di Pantai Kura-Kura.
Bukan, ini bukan pantai yang rame diposting influencer. Bukan juga yang dipenuhi bule berjemur sambil nyeruput kelapa muda. Lokasinya aja deket Desa Lembar, yang lebih sering dikenal karena pelabuhannya, bukan pantainya.
Tapi justru di balik sunyinya itu, gue nemuin sesuatu yang… gimana ya, lembut, tapi nyeret hati dalam.
Perjalanan ke sana gak susah-susah amat, apalagi kalau lo menggunakan penyedia sewa mobil Lombok
. Gue waktu itu pakai Lombok Permata, rental mobil yang emang udah jadi andalan gue tiap ke Lombok. Sopirnya ramah, mobilnya bersih, dan yang paling penting: mereka ngerti spot-spot anti mainstream. Kayak Pantai Kura-Kura ini.
Begitu sampai, gue langsung ngerti kenapa pantai ini belum banyak dikenal. Jalannya kecil, masuk ke area perbukitan, terus turun lewat jalur tanah yang dipenuhi semak liar. Tapi pas akhirnya menginjak pasirnya…
Diam.
Langsung.
Sunyi.
Dan di sanalah… laut biru tenang membentang luas, tanpa batas. Angin laut berhembus pelan, kayak bisikan lembut yang nyuruh lo berhenti berpikir sejenak.
Gue duduk di atas batu karang, sambil nyeker kaki. Pasirnya bukan putih-putih banget, tapi halus. Di ujung sana, ada perahu nelayan yang bergoyang santai, kayak dia juga lagi healing. Dan entah kenapa, badan gue langsung turun tegangan.
Lama-lama, gue mulai ngerasa… ini bukan cuma pantai. Ini semacam ruang transisi.
Antara stres dan lega.
Antara sibuk dan hadir.
Antara “gue harus produktif” dan “gue cukup”.

Gue inget banget waktu itu, handphone gue masih aktif. Tapi notifikasi WhatsApp gak gue buka. Bahkan, istri gue nelpon dua kali dan gue malah ngetik, “Nanti aku kabarin ya, di pantai. Sunyi banget.” Dan dia bales, “Akhirnya.”
Gue ketawa sendiri. Mungkin dia juga udah capek lihat gue terus-terusan kerja, bahkan pas liburan.
Pantai Kura-Kura ini kayak rem tangan buat otak yang udah kebanyakan mikir.
Dan tau gak? Di saat-saat kayak gitu, gue sadar…
Gak semua tempat harus viral buat jadi berharga.
Ada satu momen yang paling gue inget. Seorang ibu-ibu tua, warga lokal, tiba-tiba jalan pelan di dekat gue. Dia bawa dua kantong plastik, isinya ikan kecil dan rumput laut. Gue sapa, dia senyum. Gak banyak kata. Tapi dari gesturnya, lo bisa ngerasa… dia gak tergesa. Gak kejar target. Gak pengen buru-buru upload apapun.
Dari dia, gue belajar satu hal penting:
Kadang yang kita butuh bukan liburan, tapi pulang ke dalam diri sendiri.
Pantai Kura-Kura bukan tempat buat pesta.
Bukan juga spot buat rame-rame selfie grup.
Dia itu… tempat buat diem.
Buat denger detak hati sendiri.
Buat berhenti jadi “versi sibuk” dari diri lo.
Dan karena aksesnya yang gak langsung, lo bakal jarang ketemu rombongan. Paling sesekali ada warga lokal yang mancing. Kadang anak kecil lari-lari sambil bawa ember. Tapi justru itu yang bikin pantai ini kerasa… hidup, tapi gak berisik.
Sore hari, langit mulai berubah warna. Jingga, emas, dan biru laut jadi satu palet sempurna. Gue berdiri, napas pelan-pelan. Dan rasanya kayak… ada beban yang copot dari pundak, tanpa gue sadari sebelumnya udah lama nempel di sana.
Gue nulis di notes hape:
“Hari ini, gue gak nyari apa-apa. Tapi justru dapet banyak.”
Dan mungkin, itu memang fungsi dari tempat kayak gini.
Bukan buat ngasih lo pemandangan mewah. Tapi buat ngingetin…
Kalau hidup bisa sederhana.
Dan tetap bermakna.
Jadi, buat lo yang lagi nyari pengalaman yang beda di Lombok…
Yang udah bosen sama itinerary copy-paste,
Yang pingin sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pemandangan…
Coba deh mampir ke Pantai Kura-Kura.
Dan kalau mau gampang, tinggal hubungi Lombok Permata, pilih mobilnya, dan bilang aja,
“Mau ke tempat yang gak biasa.”
Mereka tahu harus bawa lo ke mana.
Gue gak tahu kapan bakal balik lagi ke Lombok. Tapi satu yang pasti:
Pantai Kura-Kura udah gue tandai,
bukan cuma di Google Maps,
tapi di dalam hati.