Menelusuri Jalur Senaru Lama: Alternatif Trek Menuju Rinjani

Beberapa tahun lalu, kalau lo tanya ke gue: “Jalur mana yang paling lo inget waktu naik Rinjani?”
Gue pasti jawab: jalur Sembalun.
Panoramanya cakep, padang savananya luas, dan sunrise di Plawangan tuh… ya ampun, magis banget.
Tapi akhir-akhir ini, ada satu jalur yang justru sering muncul di kepala gue—bukan karena view-nya paling epic, tapi karena dia ngajarin banyak hal yang gak gue dapetin di trek lain: Jalur Senaru Lama.

Awalnya gue kira jalur ini ya cuma rute alternatif biasa.
Katanya sih dulu dipakai warga lokal sebelum jalur resmi dibuka.
Gak banyak yang lewat, medannya agak ‘ngumpet’, dan katanya energi di jalur ini… beda.
Gue penasaran dong.
Dan akhirnya, beberapa bulan lalu gue coba jalanin sendiri. Solo trek, cuma bawa porter lokal satu orang yang udah 20 tahun naik-turun Rinjani. Namanya Pak Daeng.

Hari pertama, kaki gue langsung disambut tanjakan tanah merah yang lembab.
Vegetasi di jalur ini padat, rimbun, dan gak banyak jejak kaki.
Setiap langkah rasanya kayak masuk lebih dalam ke semacam lorong waktu.
Gak ada suara tawa rombongan, gak ada sorak penyemangat, yang ada cuma desau angin, gesekan ranting, dan napas gue sendiri.

“Pak, ini sepi ya?”
“Memang sengaja, Mas. Dulu warga naik lewat sini kalau mau cari kayu atau sembahyang ke Segara Anak,” jawab Pak Daeng sambil terus jalan pelan.

Gue gak bisa bohong, ada rasa khawatir waktu itu.
Bukan takut binatang atau tersesat, tapi lebih ke rasa hening yang gak biasa.
Biasanya, gue naik gunung buat kabur dari keramaian.
Tapi di jalur ini, justru gue dihadapkan sama suara-suara batin sendiri.

Tiap tanjakan, tiap pohon besar yang dilewati, gue kayak disuruh berhenti dan mikir:
Sebenernya gue lagi nyari apa sih di gunung ini?
Puncak? Foto keren? Validasi?
Atau…
Sekadar pengakuan ke diri sendiri bahwa gue masih kuat, masih “bisa”?

Malamnya, kami nge-camp di sebuah tanah datar yang katanya dulu jadi tempat peristirahatan warga.
Bukan camping ground biasa, gak ada papan petunjuk, cuma ada batu besar dan pohon beringin tua.

Pak Daeng cuma bilang:
“Tidur aja Mas, besok pagi coba bangun jam 4. Lihat kabut di antara pohon itu. Biasanya bagus.”
Gue nurut aja.

Dan bener aja…
Jam 4 pagi, kabut turun tipis.
Gue duduk sendirian sambil nyeduh kopi instan, nunggu matahari muncul dari sela pohon.
Tapi yang gue rasain bukan excited atau kagum.
Yang muncul malah… rasa lapang.

Entah kenapa, pagi itu rasanya kayak gue udah gak perlu buru-buru ke mana-mana.
Gue gak peduli soal nyampe puncak jam berapa.
Gak peduli juga kalau sinyal hilang.
Yang gue tahu, saat itu… gue ngerasa penuh, tapi ringan.

Gue jadi paham, kenapa jalur ini gak populer.
Karena gak semua orang naik gunung buat “dengerin”.
Kebanyakan dari kita naik gunung buat “cerita” dan “tunjukin”.
Dan Senaru Lama, bukan tempat buat itu.

Jalur ini kayak guru tua yang diem, tapi tajam.
Dia gak kasih bonus view keren tiap 15 menit.
Tapi dia kasih ruang.
Ruang buat lo berhenti, napas, dan tanya ke diri sendiri:
“Lo naik buat apa, sih?”

Waktu kami sampai Segara Anak, suasananya udah beda.
Ramai, rame, penuh tawa dan keriuhan.
Dan itu gak salah.
Itu juga bagian dari gunung.
Tapi sebelum sampai ke sana, jalur Senaru Lama udah nyiapin mental gue buat gak lagi cari sorotan.
Cukup duduk, lihat air danau, dan bilang pelan ke diri sendiri:
“Akhirnya nyampe juga.”

Sekarang, kalau ada tamu penyedia sewa mobil Lombok yang tanya:
“Mas, jalur mana yang bagus buat naik Rinjani?”
Gue gak buru-buru jawab “Sembalun” atau “Torean”.
Gue tanya balik dulu:
“Tujuan kamu naik apa?”

Karena kalau kamu cari healing, bukan summit…
Kalau kamu udah capek sama drama hidup, dan pengen jalan sunyi yang gak banyak omong…
Maka Senaru Lama bisa jadi guru yang lo butuhin.
Bukan untuk mendaki… tapi untuk “turun” ke dalam diri sendiri.

Dan kalau kamu butuh mobil buat ke titik awalnya, ya, tim Lombok Permata siap bantu.
Tapi inget, mobil cuma nganter sampe pintu rimba.
Setelah itu, jalannya harus lo tapaki sendiri.
Pelan-pelan.
Karena setiap langkah di jalur Senaru Lama…
Adalah cara paling diam untuk mengenal siapa diri kita yang sebenarnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *